Misi Purbalingga hingga Wonosobo

Sumber
Sore kawan,

Dari judul kelihatannya pasti gue keren banget, ke suatu tempat membawa semacam misi. Iya kali ini emang beneran gue bawa misi, misi mengenai masa depan seseorang.

Seseorang itu kakak gue, doi lagi nyoba ngelamar ceweknya dan gue disini berperan sebagai supir tol.

Kakak gue udah 6 tahun mengarungi pacaran ala ibukota dan ceweknya ngerasa ini adalah waktu yang tepat untuk beranjak dari status “pacar” menjadi lebih serius “istri dan ibu dari anak-anak”. Mereka mencoba serius dan gue sekali lagi adalah supir tol yang setia mengarungi tol Cipali.


Yang paling gue suka dari hati yang terikat adalah mereka akan berubah, kakak gue berubah menjadi lebih lembut dua minggu terakhir, mengunjungi makam bokap gue untuk meminta restu dan ke gereja berdua sama nyokap gue untuk berdoa bersama. Bayangkan. Sebelumnya dia enggak akan ke makam bokap kalau enggak gue minta atau paksa, enggak akan ke gereja kalau cuman berdua sama nyokap gue. Yah walau enggak selamanya ya seneng aja ngeliat dia berubah dalam dua minggu ini.

Perjalanan dihiasi sedikit gelak tawa dan lebih banyak terdiam, mereka berdua seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dan gue sekali lagi sebagai supir cuman bisa nyetel kenceng radio sambil nyanyi sendiri membelah jalanan, gue kasih tahu sekalian lepas dari Cikarang gue disuguhin dangdutan, jadi cobalah bayangkan kegaduhan yang gue ciptakan dengan atmosfir keheningan dari mereka.

Tidak tahu jalan dan hanya mengandalkan GMaps, berangkat jam 06.00, jam 18.00 kita baru sampai di Purwakerto. Luar biasa emang. Ya sebut saja kemacetan membabi buta dari Kalimalang sampai Cikarang ditambah kebutaan sama jalanan gue simpulkan sebagai penyebab lama kami di jalan.

Begitu sampai kami langsung antarkan si gadis ke gang rumahnya dan kami check in di hotel terdekat.




Kita nginep di Wisma Mulia Purbalingga (rate 450ribu 2 malam+breakfast) yang berdekatan dengan alun-alun, gue pikir ini adalah hotel terbaik dengan harga bersahabat, nah kalau didaerah ini kebanyakan hotelnya menerapkan cek kartu keluarga untuk beda jenis kelamin satu kamar. Sebaiknya jika kalian ke daerah sini, kebetulan beda jenis kelamin meski adek kakak bertanyalah kelengkapan administrasi yang diperlukan untuk check in.

Enaknya juga didekat sini ada pusat kuliner, meski jajanan alun-alun biasanya lebih menggiurkan kali ini kita akan menjajal dulu pusat kuliner Purbalingga. Jalanan nampak sepi pembeli pun tidak terlihat berjejalan, mungkin karena hujan sempat mengguyur daerah ini. Kami makan Nasi Goreng Mawut (12ribu) dan gue lebih memilih Mie Godog (14ribu) yang ternyata porsinya wow.

Rasanya? ya lumayanlah..

Kenyang sudah, kakak gue minta segera kembali dan kami pun berjalan menuju penginapan dalam hening. Aura bimbang sepertinya mengudara disekitar kakak gue, gue yang biasanya diam hanya bisa memantau kondisi sampai saatnya tiba bertanya.

Besok paginya gue lihat si kakak udah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya, gue enggak bertanya juga menyapanya. Dia butuh waktu. Mungkin seperti wanita yang menunggu dipinang, lelaki pun punya permasalahan ketika meminang.

Sebelum beranjak menuju rumah si gadis, gue pun pamit ke gereja dulu.

Purbalingga mendung merundung berkonspirasi dengan si kakak yang sedang dirundung khawatir, sesekali angin membawa rintikan hujan menyapu kulit gue. Wah gue kena virus khawatir juga.

Usai gereja, gue kembali lihat kakak gue lagi menyantap makannya sambil garuk-garuk kepala. Ini sih akut ya, gue belajar bahwa lelaki di luar sana yang pada akhirnya menikah dan mengarungi rumah tangga adalah orang paling hebat, menapuk semua kegelisahan sebelum mengambil keputusan-keputusan itu, gue pikir lelaki yang bakal jadi jodoh gue mungkin sedang melakukan hal yang sama, mempersiapkan diri meminang ketika akhirnya kita dipertemukan. Atmosfir berubah berat, kakak gue yang mencoba mengalihkan dengan menyetir malah salah salah beloknya, diminta gantian malah enggak mau. dasar lelaki..

Gue mengantarkan kakak gue di gangnya, kita enggak berhenti didepan rumah sang gadis, takut mengambil simpati katanya. Sisanya gue melanglang buana ke Sanggaluri (20ribu/orang, parkir 5ribu), kebetulan kan deket tuh. Penampakannya macem apa, begini nih :





Sanggaluri itu ibarat wahana wisata murahnya di Purbalingga, didalemnya ada museum yang belum sempet gue jelajah semua dan terlihat cukup instagramble, yaah cukup updatelah yah untuk daerah wisata sini. Belum ada 30 menit gue ngejelajah tempat ini, HP gue udah berdering. Si kakak telpon minta segera dijemput.

Batin gue enggak enak, 30 menit belum juga genap berlalu dan dia sudah minta dijemput.

Gue melihatnya duduk berdampingan dengan si gadis di depan gang rumahnya. Mukanya masam, muka si gadis juga sama masamnya.
“Mau kemana?”
Gue rasa muka masam mereka harus diobati dengan kemana gitu.
“Wonosobo”
Gue mengangguk tidak masalah. Gue sama kakak gue termasuk golongan orang kurang kerjaan, pernah suatu kali kami pergi ke Purwakarta dengan kemacetan gila segala pake adegan off road karena lewat jalur alternative cuman demi makan sate maranggi yang tersohor itu atau sekadar makan pizza bakar di Bogor ketika lagi main di ICE BSD Serpong dan lapar.
“Rasanya gue pengen nangis”
ucapnya sambil menyetir, si gadis bilang menangis saja dan gue dalam kebisuan menatap jalanan sembari mengetuk-ngetuk ikuti irama lagu yang mengalun.
Kakak gue lagi mencoba berlari dari kenyataan, dia membelah jalanan dengan emosi yang acak namun terkendali.

Perjalanan dari Purbalingga ke Wonosobo mungkin memang seharusnya terjadi. Dengan pemandangan terindah, membelah gunung lewat kelokan jalanan yang elok, hamparan hijau yang mendamaikan. Kalau ditanya kedamaian datangnya dari mana, untuk saat ini gue akan menjawab dari apa yang gue lihat dan rasakan.

Dan disinilah kita, Wonosobo bawah menikmati Mie Ongklok Longkrang yang terkenal itu. Dengan antrian gila dan sekali lagi ditemani rintik hujan. Langit seakan bersimpati pada kakak dan si gadis.



Di Mie Ongklok Longkrang (8ribu) kita hanya bisa sebatas menikmati makan yang dipadankan sate ayam (22ribu), gorengan (seribu) dan es teh legitnya (4ribu), sisanya kita tidak bisa bersenandung lepas karena harus sadar diri antrian telah ada dan kita pun beranjak, tidak lupa membeli carica sebagai buah tangan.

Kenyang Mie Ongklok kami kemudian mampir ke Banjarnegara yang terkenal dengan Es Dawet Ayunya. Kami berhenti di alun-alun Banjarnegara dan menikmati seteguk demi teguk Es Dawet Ayu (5ribu) sembari melihat anak-anak bermain bola dan masjid agung tegap berdiri. Berfoto sejenak lalu kami melanjutkan perjalanan.


Dawet Ayu'ne alun-alun


Usai mengantar si gadis, gue pun akhirnya membuka pertanyaan,
“Gimana?”
Dia tidak langsung menjawab, terdiam sebentar lalu..
“Ditolak”
Dan gue menghela nafas. Seperti yang sudah diperkirakan orang-orang.

Alasannya jelas Beda Agama.

Meski si gadis mau pindah agama tidak dengan keluarga besarnya. Ini hal paling sensitive. Kedua belah pihak keluarga tidak akan ada yang mau mengalah dan kulihat kedua pasangan ini pun tidak mau mengalah juga.

Kubiarkan jawaban atas keputusan mereka berdua menggantung hingga malam menurunkan hujan sederasnya.

Esoknya selesai santap pagi kita pun bersiap pulang. Misi di Purbalingga telah usai. Si Gadis bersikeras ikut ke Jakarta dan kakak enggan menolaknya. Kami menjemputnya dirumahnya kali ini.

Kulihat sejenak mereka memantapkan keputusan.
“Aku akan coba lagi”
Si gadis berujar gue hanya bisa memalingkan muka. Entah sejauh apa kalian akan berjuang karena soto sokaraja (18ribu) yang kita makan sebagai makan siang punya rasa yang unik banget dan getuk goreng Sokaraja (23ribu) yang sudah jadi warisan budaya tak benda oleh UNESCO yang kita pakai untuk oleh-oleh terlihat sangat otentik.
Dan kedua hal ini murah, buat kalian yang suka sama manis bisa nih ngejadiin getuk goreng sebagai alternative oleh-oleh.

sumber (Getuk Goreng H. Tohirin)
Soto Lama H. Suradi - Sambal Kacang

Well, hari pun kemudian ditutup dengan perjalanan kami yang gue rasa lebih singkat meski tidak dengan mereka berdua. Terdengar suara gemuruh menembus ruang senyap di mobil kecil ini. Kalau gue enggak melakukan ritual nyanyi itu mungkin gue bakalan sesak sendiri.

Gue paham mereka mencoba bertahan, mereka sedang berjuang, mereka ingin melakukan yang terbaik. Keras kepala mereka entah akan bertahan sampai kapan, gue pun enggan menentukan. Yang gue tahu perjalanan mereka selalu gue iringi dengan doa.

Nyokap gue dengan tekadnya tidak akan melepaskan anak laki-laki semata wayangnya, si gadis dengan keluarga besarnya tidak akan melepaskan anak gadis satu-satunya.

Kadang gue bertanya, apakah cinta memang harus begini, akankah ujungnya nanti cinta akan membawa kebahagiaan pada hal-hal yang berawal seperti ini?

No comments:

Post a Comment