"Tuh, Kan.."

“Kamu tahu, kalau memiliki berarti siap kehilangan?” ucap Dia, duduk menyerong tidak juga menghadap lawan bicaranya. 

Kamu memiringkan kepalamu, melihat dengan jelas wajah Dia.

“Kenapa harus kehilangan jika yakin saling memiliki?” balas Kamu dengan sengit,
 
“Kamu tahu istilah ini, dalamnya lautan kita tahu, dalamnya hati orang kita tidak pernah tahu.”
 
“Kamu tahu, bahwa ketika kamu pergi kamu bisa saja pamit,” Kamu membalas lagi, kemudian Kamu membetulkan posisi duduk. Posisi duduk kini sama sulitnya dengan posisi hatimu.
Meronta tak tentu arah, menuntut penjelasan yang tak kunjung diberikan.

Dia bergeming, sama tingkah. Membetulkan posisi. Kini tak lagi bisa melihat raut wajah satu sama lain.
Langit sore telah tiba, udara mulai mendingin seiring dengan keadaan Kalian.
Taman sudah mulai ramai begitu juga dengan isi pikiran Kalian.
Kalian saling sibuk berpikir, tidak juga mengeluarkan tidak juga berteriak. Saling memendam, merasa bahwa satu sama lain dapat membaca pikiran dengan baik.
 
Ah, Kalian telah keliru. Kalian salah. Dan Kalian terjebak dalam rasa itu. Bahwa satu sama lain tidak mengerti apa yang dikatakan, apa yang dijelaskan. Salah dalam menerka.


Hening itu merenggut waktu hingga muak didapat. Dia duluan yang pergi tanpa aba-aba tanpa pamit. Kamu hanya diam dan tak berapa lama memalingkan muka, enggan bahkan melihat punggungnya menjauh.

Diam sejenak disana, dibawah pohon yang perlahan menggugurkan daunnya membuat suasana kian sendu.

Wangi hujan berangsur mendekat, hujan sebentar lagi akan tiba dan tanah akan basah.
Kamu bahkan tak sanggup menangis, Kamu merenung sejenak apa yang telah Kamu lakukan selama ini.

Kamu pikir berada didalam perahu yang sama dengan Dia. 
Menerjang ombak yang sama, menyelamatkan satu sama lain. 
Bertahan dalam ombang ambing laut ganas, mempertahankan satu sama lain.

Tapi nyatanya tidak, di perahu itu hanya Kamu seorang diri dan bayangan Kamu. Tidak ada Dia, tidak ada siapapun. Hanya Kamu dan perahu yang lambung kapalnya telah bolong-bolong, yang kayunya telah keropos dan tinggal menunggu waktu hingga perahunya karam.

Tak akan ada yang menyelamatkan Kamu karena Kamu terjebak sendirian, Kamu menjebak diri sendiri. Mendayung pun percuma karena ego Kamu menahan. Berenang pun percuma karena hati Kamu tertahan.

Kini Kamu memandang langit, bertanya pada Tuhan harus bagaimana.

Tuhan, sebuah definisi peraduan mengaduh.
Tuhan diam, sebanyak Kamu bertanya, Kamu berfikir Tuhan diam.
Tuhan telah menjawab sebanyak Kamu bertanya. Namun jawabanNya Kamu abaikan.

Kamu kembali bersedih dalam kapal yang karam, rintik telah jatuh, perlahan tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa. Semuanya perlahan hingga Kamu pikir hujan pun enggan mampir.
Menangis dalam gegap gempita kesendirian, heboh berduka atas hal-hal yang meninggalkan.
Kamu lupa bahwa Kamu-lah yang meninggalkan, termakan sebutan manusia untuk dua orang yang saling tergila-gila, disebutnya cinta membabi buta, padahal babi tidaklah buta dan buta tidak mesti milik babi.
Kamu melupakan segalanya dan pergi bersanding dengan Dia.
Kini Dia telah pergi dan Kamu merasa hilang setengah jiwa. Padahal jiwa Kamu adalah milikmu seutuhnya. Kamu menjebak diri Kamu sendiri dan karena itu Kamu tenggelam oleh kegelisahan Kamu sendiri.
 
Mari, ucapkan selamat tinggal terlebih dahulu sebelum Tuhan mengatakan
 
“Tuh, kan…”

No comments:

Post a Comment