Sabtu Bersama di Stasiun MRT



“Stasiun MRT terdekat dimana ya?” tanya gue pada barista di kedai kopi. Siang itu cukup pekat hingga gue menyingkir ke dalam kedai kopi Ratangga sehabis pertemuan MUA (Make Up Artist).

“itu stasiun MRT mbak, Stasiun Blok A” lelaki disebelahku langsung menjawab diiringi senyum barista tersebut, gue memiringkan kepala dan terlihat eskalator ke atas

“mau diantar?” tawar lelaki itu sembari tertawa kecil

“boleh” gue mengiyakan dengan yakin yang membuat lelaki itu mengatupkan mulut dan tak lama tertawa kencang

“Mau kemana emangnya?” tanyanya

“mau naik MRT yang terdekat dengan stasiun KRL” ujarnya

“wah perjalanan jauh ya, gue juga sih. Arah Lebak Bulus” sahutnya

“Arah Manggarai. Salam” gue mengacungkan tangan meminta handshake dan dia menyanggupinya sembari menghormat.
Bagi orang lain ini seperti moment absurd tapi bagi kita ini malah jadi awal pembicaraan.

“Kenapa bisa arah Lebak Bulus nganterin orang yang mau turun di stasiun terdekat dengan KRL?” ucap gue begitu tersadar bahwa arah Lebak Bulus bertentangan dengan arah yang gue tuju

“Yang pertama lagi senggang, yang kedua mbak nya cakep” jawab dia ala kadarnya


“iya emang sih, masnya juga engga jelek” dan dia melihatku kaget. Tersadar bahwa alien disebelahnya sama blak-blakannya.

“Jadi kenapa bisa nyasar sampe Blok A, emang pas berangkat naik ufo?” sahutnya

“engga, gue naik kicir-kicir. Mendarat begitu aja tepat sasaran makanya pulangnya bingung” dan bisa ditebak, selanjutnya adalah pembicaraan absurd berbasis fiction sesekali dilirik oleh penghuni MRT yang cenderung kalem nan santun.
“tukeran nomor dong” seperti memalak gue pun meminta handphone nya dan menuju instagramnya

“lah nomor malah dikasih ID IG, eh fotonya fake juga, backgroundnya maksud gue” emang mulut manusia yang baru pertama ini enggak bisa diayak ya dan entah kenapa gue suka sama kejujuran tanpa santun itu

“ini adalah upaya menambahkan follower tanpa membayar and you know apalah guna editing foto kalau engga dipake” balas gue yang langsung stalking IG nya

“muka lu.. gini gini aja anjir haha” dan serius bahwa muka lelaki ini sama sekali tidak fotogenic. Kebanyakan fotonya juga bukan mengenai pribadinya namun terkait dengan dunia photography. Photo nya pun bagus, menarik dan gue tertarik.

Gue pun akhirnya turun di Stasiun MRT Dukuh Atas, berjalan melewati terowongan jalan Kendal lalu sampai di Stasiun KRL Sudirman. Sedangkan Niko lelaki itu benar-benar mengantar sampai stasiun KRL Sudirman lalu kembali lagi menaiki MRT.
Untuk ukuran pertama kali mengenal gue cukup berani dan dia cukup yakin. Hal ini berlanjut dengan DM darinya, membuat gue jadi lebih sering memantau DM daripada likes yang harus gue dapetin sebagai influencer.

‘lu suka ngopi?’ chatnya kala itu,
‘freak gue mah’ ucap gue
‘cobain kedai sunyi yuk’ sahutnya
‘boleh’ dan persetujuan itu membuat kami bertemu kedua kalinya.

Naik MRT sampai Stasiun MRT Fatmawati dan dia sudah berada disana, melambaikan tangannya. Lelaki ini memang aslinya rapi sepertinya. Kali ini dia memakai kaos hitam polos dengan kemeja kotak-kotak yang kancingnya terbuka, celana jeans yang agak cingkrang di kakinya dan sepatu merah maroon senada dengan kemeja kotak-kotak yang dia kenakan.

“kita naik apa?”
“naik tayo” jawaban singkatnya disambut cekikan gue dan dia nyengir memperlihatkan deretan giginya yang ditengahnya hitam
“Ah!” gue menunjuk sampai semua orang melihat dan dia buru-buru copot selotip hitam di giginya, ngebuat ngakak gue makin jadi.
“kita jalan kaki aja, jaraknya cuman sekitar 700 meter dari sini. Kedai kopi ini unik, difabel yang jadi pegawainya” jelasnya membuat gue ngangguk-ngangguk, tumben nih anak ngomongnya bener.

Dari sabtu ke sabtu, dimana ketika gue atau dia engga ada event atau eventnya tidak berjalan lama adalah waktu kami untuk bertemu.
Niko bekerja di salah satu perusahaan startup dan menjadi photographer disana, dunianya adalah melihat melalui lensa, memandang segala hal dari perspektif yang berbeda. Menemukannya bukannya tidak sengaja, kami seperti ditakdirkan untuk bertemu disana, saling mempercayai hingga obrolan ini terus berlanjut.
Kami kulineran di seputaran Stasiun MRT.

Mulai dari sate taichan Bang Osin dimana kalian bisa turun di Stasiun MRT Senayan dan berjalan kaki 300 meter, nongkrong di Mbloc dimana kalian bisa turun di Stasiun MRT Blok M atau Stasiun MRT Asean lalu dilanjut dengan makan gultik atau sekedar nongkrong di starbuck hasil dari voucher yang kadang kami dapatkan di Stasiun MRT Bundaran HI atau kopi susu familymart di stasiun MRT Benhil.

“kali ini gue anter ke rumah” ucapnya. Perkenalan kami sudah menjajak 8 bulan, tidak bisa disebut sebentar memang
“ngapain?” gue menyahut malas, membiarkannya bertemu dengan kedua orang tua bisa pertanda wawancara kemudian
“entar lu juga tahu”, gue tahu dia sama kerasnya dengan batu kali yang meski terkikis air kali tetap saja bertahan ditempat yang sama sampai hilang upaya dan daya.
Dan disinilah kami. Gue dan dia duduk berdampingan dengan nyokap dan bokap.

“Halo om tante, mungkin ini yang pertama kali kita ketemu. Maksud dan tujuan saya kesini adalah ingin minta izin untuk lebih mengenal putri om dan tante. Sejauh ini kami sudah saling mengenal selama 8 bulan. Baiknya jika 4 bulan kedepan saya diperkenankan untuk terus bersama putri om dan tante. Saya ingin mengajukan niat baik melamar putri om dan tante”
bokap nyokap? jelas saling bertatapan. Tidak ada angin hujan apalagi petir disamber geledek ujug-ujug lelaki ini datang mengenalkan diri sebagai teman yang meminta izin untuk berpacaran dengan putri mereka bahkan berniat melamar bila 4 bulan kedepan diperkenankan masih tetap bersama.

“Terima kasih atas niat baiknya. Tentulah izinkan kami mendiskusikan dulu dengan keluarga. Ajaklah juga putri kami untuk dikenalkan kedua orang tuamu. Dan mari kita lihat sikapmu. Apakah naïf atau memang tulus” ketika bokap menunjukkan kebijakan orang tua dan gue menunduk tersenyum.

Orang tua gue cukup kooperatif dengan anak-anaknya, mereka tidak sembarangan menentukan keputusan. Harus berdasarkan musyawarah keluarga. Percakapan itu disambut dengan makan bersama ala kadarnya dan tawa yang bersahutan. Ya rumah gue memang cukup ramai, dihuni 7 orang dengan 4 saudara, 2 adik kembarku dan 2 kakak kembarku. Jadi ya bayangkan saja bagaimana hidupmu diapit anak kembar yang bahkan mereka ngobrol saja pakai telepati.

Sedangkan Niko memiliki keluarga yang sangat minimalis. Hanya berdua saja dengan adik perempuan yang sudah beranjak dewasa dengan Ibu yang tersisa, ayahnya telah lama wafat. Jadi mereka benar-benar hanya bertiga saja. Saling menopang kekuatan dan kehidupan. Ibunya adalah seorang kepala sekolah sedangkan adiknya mengambil kuliah jurusan fashion designer. Ya pantas saja si anak lelaki ini santun dan terlihat rapi.

“saat kita menyadari bahwa apapun bisa hilang, kita jadi merasa bersyukur pada apa yang kita miliki, menyadari bahwa kita dikelilingi orang-orang yang menyayangi kita” ucapnya kala itu di kedai kopi Coffeatopolgy dekat stasiun MRT Cipete Raya. Kala itu entah obrolan apa hingga topik kami adalah seputar kehilangan.
Bahwa acap kali kita kehilangan. Ketika yang hilang itu kecil kita cenderung mengabaikan, mengatakan bahwa itu tidak apa-apa. Bila yang hilang itu besar kita cenderung melebih-lebihkan bahwa hal itu adalah setengah nyawa, tidak bisa bila tidak ada. Kehilangan bukanlah sebuah kutukan, dia mengatakan bahwa bisa saja suatu hari dia kehilangan gue atau sebaliknya. Namun itu tidak memungkiri bahwa proseslah didalamnya. Terkadang kita harus benar merasakan kehilangan untuk mengetahui bahwa hal tersebut benar berharga, terkadang biasa berada disekitarnya tidak membuat kita sadar bahwa hal itu berharga sampai kebiasaan itu menghilang dan kita menjadi nihil.

Kehilangan tidak sama buruknya dengan menemukan. Apa yang ditemukan bisa saja hilang.
Hidup ini adalah proses menemukan dan kehilangan.
Ketika kita saling menemukan, rasanya tidak sudi kehilangan hingga memberanikan diri menjalin komunikasi lanjut.
Ketika saling menemukan kita takut kehilangan, namun kita saling menguatkan untuk tidak takut pada kehilangan. Kita harus tetap melangkah ke depan, beriringan dengan tangan yang saling menggenggam dan jari manis bertaut oleh janji bersama.

No comments:

Post a Comment