Sebuah Pengertian




Ya gue paham, jatuh cinta adalah bunuh diri paling epik sepanjang masa. 
Karena percuma raga sehat bila hati sudah tiada.

Kisah percintaan gue biasa aja, kayak orang umumnya, ketemu di bangku kuliah chit chat intens lanjut wara wiri. Nyambung dan akhirnya lanjut.
Kita ngejalaninnya pun ya kayak orang pacaran umumnya, gimana ada hari-hari kita bahagia ada juga sedih bersamaan. Ada saatnya gue engga paham sama pemikiran dia atau dia yang salah paham sama kelakuan gue. 
Gue pikir ya hubungan kita ya biasa aja.
Bukan yang gimana-gimana kayak di film-film meskipun menonton film adalah bagian dari ritual kita berdua setiap sabtu dirumahnya make infocus ditemenin popcorn dan obrolan keluarganya yang biasanya nonton bareng kita. 

Sedeket itu gue sama keluarga dan circle pergaulannya, sedeket itu gue sama apa yang dia lakuin bahkan ibaratnya ketika dia ngapain ya gue disitu kecuali mandi. Belum muhrim ya.
Daritadi kalian pasti bertanya-tanya siapa gue, yang punya pacar biasa aja dengan hubungan biasa saja tapi ada di panel cerita ini.
Nama gue Koko Willy, tidak berkaitan dengan ras, gue adalah orang Solo tulen tujuh turunan, karena sebelumnya ada campuran sumatera tapi ya emang takdir, balik lagi jadi darah murni.
Kenalin sekalian Ayundya, pacar gue saat ini dan berharap seterusnya. 
Ya, aktivitas gue kebanyakan sama Ayundya ini. 

"Kamu dan keluargaku sudah dekat, apa kamu ga berkenginan mengenalkanku sama keluargamu?"
ucap dia pada sore yang sejuk dengan semilir angin

"Untuk apa?"
Tanyaku polos

Menurutnya keseriusan lelaki ditentukan dari pengenalan ke keluarga dan circlenya, tapi menurut gue itu engga perlu, engga usah. 
Menurut gue ya, sebelum dia pasti jadi istri gue buat apa gue kenalin?

"ya untuk mengenal keluargamu, soalnya nikah mah bukan aku sama kamu aja tapi sama keluarga juga. Kalau udah ga suka mana bisa lanjut?"
Ucapnya manakala kuutarakan pendapatku

"Jika aku menikahami, aku tidak perduli pada siapapun"
Gue menjawab dengan enteng, gue ngerasa engga perlu restu siapapun buat bersama dengan orang yang gue suka. Gue gak perduli gunjingan orang-orang dan ga perlu tau.

Kalian bisa bilang gue bucin, bucin banget. Gue ga masalah, gue seneng menyandang nama itu. 
Semuanya gue penuhin kalau bisa. Semuanya gue turutin asal mampu.
Ayundya dunia gue dan segalanya buat gue. Ya circle dia, keluarga dia. 
Kecuali keluarga gue, circle gue. Gue mau menjauhkan dia dari keluarga gue yang toxic itu. 
Secara sadar gue mencintai dia dengan membabi buta. 

Sampai gue ga sadar dia yang bergerak menjauh, dia yang sudah asyik dengan dunianya sendiri. 
Gue dibutakan oleh diri gue sendiri, pemikiran gue sendiri. 

"Siapa dia?"
Menemukan Ayundya berjalan dengan lelaki lain, dengan mesra. Bergandengan tangan di tengah hiruk pikuk Pantjoran PIK

"Kenapa?"
Ayundya bertanya menantang, seakan kita tidak dalam hubungan yang sama 

"Ka, ayo."
Panggil seorang perempuan berparas manis, dia adek gue. Tanpa menjelaskan, melihat lebih jauh gue ikutin adek gue. 
Ayundya mendengus kesal lalu pergi menggandeng lelaki yang bersamanya.

-0-

"Siapa dia?"
Gue bertanya sekali lagi, di halaman rumahnya. Malam itu juga. Segala kesalahpahaman harus selesai di hari yang sama agar tidak menumpuk beban semakin tinggi

"Siapa dia?""
Ayundya bertanya balik, ngebuat gue tersenyum kecut

"Adek gue"
Sekilas Ayundya tersenyum sinis

"Gue sekarang pacaran sama dia, namanya Bagas"
Gue melihat dia, seakan merasa dunia sedang bercanda. Kenapa?

"Gue? Cepet banget Lu Gue bahasanya"
Gue menimpali, otak gue mulai bergeser tidak dapat berfikir semestinya

"Gue ngantuk dan mau tidur. Mulai sekarang kita engga ada hubungan apa-apa lagi"
Gue langsung menarik tangannya, menuntut penjelasan dan alasan. Apapun alasannya silahkan, gue ga masalah. Gue butuh alasan untuk menerka apa yang terjadi, untuk berfikir ada apa.
Gue butuh sesuatu untuk jadi sinyal 

"Haaahh, ayo masuk. Kita duduk sambil ngobrol"
Dia menghela nafas panjang lalu mempersilahkan duduk di teras rumahnya, disuguhi air putih kemasan gue menyeruput bingung karena tidak tahu harus apa dan bagaimana

"Ya, kita menjalin hubungan udah lama. 5 tahun ya? Udah banyak banget yang kita lewatin bareng. Aku paham. Masalahnya bukan di kamu tapi di aku."
Gue ngelirik Ayundya, masalah apa yang lu punya sampe gue ga sadar dan ga tau. Sampe tiba-tiba aja lu ilang gitu aja.

"2 tahun awal yang kita lewatin ngebuat aku merasa spesial, merasa istimewa. Aku tahu kamu bucin dan kamu bangga sama hal itu, memamerkan betapa spesialnya aku untukmu"
Ayundya menghela nafas sejenak, menyusun kalimat yang keluar yang sepertinya sebelumnya sudah disiapkan

"2 tahun di awal ya aku senang, tapi berikutnya tidak. Sisa 3 tahun yang kita habiskan bersama terlalu hambar, terlalu datar. Dan aku merasa aku sudah tidak dimengerti olehmu lagi"
Aku menatapnya tidak percaya apa yang dikatakannya

"Kamu terlalu menuruti apa kataku, apa mauku. Kamu terlalu ambisius memenuhi segala permintaanku dan menyenangkanku sampai lupa mendengarkanku."
Gue ngegaruk kepala, seakan ga percaya sama yang gue denger

"Maaf, sudah sejak lama aku merasa tidak didengar. Dan akhirnya aku menemukan telinga yang menyambut cerita-ceritaku dengan antusias dan menapik hal-hal yang tidak semestinya. Aku menemukan seorang teman diskusi, teman hidup"
Gue cuman bisa nunduk, ga paham. Otak gue masih korslet.

Begitu saja dan Ayundya mempersilahkan gue keluar dari rumahnya.
Gue yang linglung cuman bisa keluar, menyalakan motor dan gatau harus kemana.
Gue sedikit sadar bahwa selama ini gue ga punya temen cerita, bahkan masalah keluarga aja gue ga pernah cerita ke Ayundya. 
Gue jadi agak menyesal karena gatau sekarang harus lari kemana.
Akhirnya ya waktu itu gue cuman minggir di jembatan, nangis sesenggukan sampe subuh mendarat dan matahari ngangetin badan gue. Mata gue bengkak banget, ga ketolong sama pipi bulet gue.

Kelar nangis, matahari muncul gue melipir ke warteg. Laper.
Makan nafsu ga nafsu, kalau bukan tuntutan badan, gue harusnya kayak laki-laki lain yang menyandang predikat bucin. Gelepar ogah makan, males bergerak. Maunya mati aja.
Makan sambil merenung lagu Tulus yang video clipnya badut mengalun lembut. Wartegnya indie kayaknya lagunya bagus.
Gue sadar selama ini gue terlalu ambisius ngeliatin ke orang-orang kalau Ayundya segalanya buat gue, gue kasih semua waktu dan diri gue buat Ayundya, gue sadar bahwa gue ga pernah ngelirik diri gue sendiri. Cinta gue membabi buta, berakar sampai ke otak.
Apa yang dia lakuin atau apapun ya gue iyain aja tanpa gue hardik, gue tersadar kita ga pernah benar-benar mengobrol. Kita ga pernah bertukar pembicaraan. Kita tidak pernah berdiskusi. Yang dilakukan Ayundya selama ini hanyalah pembicaraan satu arah dengan gue yang sibuk mikirin gue harus treat Ayundya apalagi biar dia seneng, biar dia happy dan biar orang-orang tahu sesayang apa gue sama Ayundya. 
Gue lupa satu hal, yang paling penting.
Duduk diam disebelahnya, kehadiran yang bukan semata-mata ada secara fisik aja. Tapi benar-benar ada untuk mendengarkan dan di sisi dia. 
Gue gagal dalam hal itu, hal paling krusial yang dibutuhkan.

Ya, kelar makan warteg gue masih nangis sesenggukan.
Nangisin Ayundya sama kebodohan gue sendiri. 


No comments:

Post a Comment