Ceritaku tentangnya

Tidak ada hingar bingar padanya, tidak terlihat juga bagaimana yang kebanyakan kulihat.
Dia begitu sederhana, begitu pandangku.
Dia begitu berkomitmen, begitu kulihat.

Aku tidak mengenalnya sebaik orang mengenalnya mungkin,
Kami jarang berbicara apalagi bertatap muka.
Aku hanya mengenalnya, ketika kucoba samar bagaimana aku berkenalan dahulu. Aku terlempar dalam masa lalu.

Beberapa tahun yang lalu, ya kusebut seperti itu. Sebenarnya aku meragukan kami berkenalan saat itu.
Dia dikenalkan padaku oleh seseorang, kukatakan dengan senyum menghias pada wajahku.
"Gue gak aktif digereja, tapi kalo mau gue kenalin sama ketuanya. Nah ini dia..."
Rasanya ketika kubuka memori masa lalu, begitulah caraku mengenalnya dan begitulah caraku bertukar nomor dengannya.
Sesaat kemudian ketika ku mengunjungi rumah Tuhan, kutemukan dia duduk ditempat yang sama, sendiri. Kutanya adakah orang disampingnya, dia menggelengkan kepalanya.


Tiada rasa hanya asa, tiada pergumulan berarti hanya menganggapnya sebagai teman biasa, teman yang baru kutemui hari ini dan mungkin akan hilang besok.
Seorang teman gereja bersama, aku tidak menyadari apapun. Aku tidak mengerti apapun. Dia berikan semua usahanya, aku tidak mengerti. Aku berpaling darinya, dan kuanggap dia sebagai seorang teman gereja yang selalu duduk ditempat yang sama.

Ketika dia tidak lagi terlihat oleh mataku, kusadari bahwa dia sudah menghilang. Bahwa dia sudah tidak lagi berada disini. Aku hanya merasakan kehilangan teman gereja bareng dan aku kembali duduk sendiri.
Aku mulai terbiasa dengan ketidakhadirannya, kuingat sesekali dia menghubungiku. Hanya menghubungiku dan aku masih menganggapnya sebagai teman.

Lalu hari itu datang. Ketika tahun ini, dia datang bagai badai. Aku tidak melihatnya biasa lagi.
Semalam yang sangat berarti membuatku merubah pandangku terhadapnya, kurasakan getaran yang dia berikan kepadaku. Sikap manisnya membuatku terusik dan aku memikirkannya.
Kukatakan padanya aku memikirkannya, dia hanya tersenyum dalam ketikan.
Dia mengatakan memikirkanku juga.
Aku tidak berani mempercayainya,
Aku tidak yakin dengan apa yang kurasakan.

Aku menjalaninya, berbicara dengannya, mengamatinya.
Dan rasa itu mulai menjalar seiring dengan hati yang terbuka.

Dia datang disaat yang sangat tepat, ketika aku siap membuka hati. Ketika sebelumya aku menutup hati untuk semua peluang dan kemungkinan yang ada.
Dia datang disaat yang terlalu tepat hingga aku tidak bisa memungkiri hati ini, hingga kukalahkan logikaku dan mengatakan biarkan hati ini yang berbicara.

Aku mulai merasakan debaran jantung itu, aku malu mengakui perasaan ini namun aku berusaha untuk terus terbuka, aku terus berusaha bersikap demokratis pada diri ini. Kuhormati perasaan yang tumbuh ini, perasaan yang begitu tiba-tiba.
Dan kusadari hati yang kosong ini telah penuh dengannya, kusadari bahwa aku yang terlalu sulit menyukai seseorang bisa dengan mudahnya menyukainya dalam pandang pertama.
Aku merasakan sesuatu yang manis, namun aku masih meragu, aku masih takut tersakiti.
Aku tarik menarik dalam rasaku sendiri.
Aku menyukainya, terlalu besar karena dia datang disaat yang begitu tepat.

Aku meminta bertemu dengannya, kurasakan debaran jantung yang tidak biasa bahkan malam pun tidak cukup untuk memikirkan esoknya. Kurasakan begitu besar dampaknya hanya bertemu dengannya.
Ku memintanya ke suatu tempat hanya sebagai alasan, seperti angin yang berputar aku hanya ingin bersamanya, meskipun rasa berdebar-debar yang tidak bisa kutahan, meskipun wajahku rasanya merah merona kutahan.
Setiap kali bersentuhan dengan tangannya kurasakan romantisme yang tidak biasa, aku terlalu berdebar-debar. Aku menikmatinya meskipun itu melelahkan untukku, karena jantungku terlalu cepat berdetak.
Aku mengerti bagaimana dia berusaha menggenggam tanganku, layaknya menyatakan kepemilikan. Namun aku tidak siap untuk itu, kutepis berkali-kali dan kukatakan bahwa memegang tanganku hanya akan menambah debaran jantungku.

Dia tidak mengerti dan masih terus berusaha, dalam hatiku aku tersenyum dan terenyuh, kuingin balas menggenggam tanganmu tapi aku masih terlalu takut.
Ketika dia berbicara kupandang matanya, mencari dirinya dalam matanya. Mencari ketulusannya, mencari bagaimana bisa hati ini memilihnya.
Orang yang sama sekali jarang bertatap muka denganku, terlalu spontan, terlalu tergesa-gesa namun hal ini malah membuat jantungku berdetak lebih cepat hingga hari tak ingin kuakhiri.
Aku memandangnya dan mulai bertanya-tanya bagaimana dia memandangku, bagaimana dia melihatku.
Kukatakan adakah orang lain yang menyukainya,
Dia menjawab ada,
Kusahut bahwa dia sainganku
Dia menyahut dengan tawa.

Kami tidak mengobrol banyak, aku hanya ingin bersamanya, aku hanya ingin menatap matanya. Aku hanya ingin ada disampingnya.
Ketika kita akhirnya berpisah kukatakan dengan terus terang
"Maunya sih gak pulang, tapi udah harus doa dirumah temen"
Dia menahanku dengan manis, tanpa paksaan karena dalam hatiku pun tertahan. Aku masih ingin bersamanya.
Aku masih belum bisa meredam detak jantung ini.

Bila saja dengan memandangmu aku puas,
Bila saja dengan menatapmu aku puas,
Bila saja dengan berada disampingmu cukup bagiku,
Bila saja dengan pernah menyentuh tanganmu membuatku bahagia,
Bila saja dengan menyatakan rasa itu cukup,
Aku tidak akan pernah menuntutmu lebih, aku tidak akan pernah hadir kembali diharimu.

Esoknya kupikir akan baik-baik saja, namun aku yang tidak baik.
Kondisi yang tidak pernah kuketahui datang menghadang, aku mencoba membicarakan dengannya.
Tentang masalah yang kuhadapi, ku mencoba berani mengutarakan masalah itu.
Namun aku yang tidak tau diri ini mungkin terlalu bersikap arogan.
Dia hanya menjawab "Serahkan semuanya pada Tuhan" 

Seperti ucapan perpisahan dia hilang kembali, mungkin bintang yang lebih terang sedang membutuhkannya.
Aku terdiam, tidak lagi ada pembicaraan, semuanya hilang. Lenyap begitu saja layaknya tidak ada apa-apa.
Aku mencoba untuk tetap bertahan, lalu logikaku muncul dan mengatakan bahwa apa yang kurasakan tidak akan tersampaikan olehnya.
Aku mengirimkan latunan doa untuknya, aku mengirimkan rasa rinduku padanya.
Tapi apalah dayaku, hanya seorang yang hadir tiba-tiba, berkata memikirkannya.
Hanya sebatas itulah aku.
Orang yang sekejap datang dan bisa saja sejurus kemudian menghilang.

Namun sakitnya merindu kurasakan, telak mengenai hati yang terisi olehnya.
Sesekali dia membalas, namun hanya sesekali tanpa penjelasan. Kulihat dia membaca namun terabaikan.

Aku bertahan satu
Aku bertahan dua
Aku bertahan tiga
dan kuputuskan bahwa akulah gangguan itu.
Tanpa penjelasan darinya
Tanpa kata-kata darinya
Akulah yang menganggunya.
Aku mulai dikuasai kuasa negatif.

Aku memilih mundur, bukan karena aku menyerah. Namun aku tidak ingin dia merasa limbung akan kehadiranku. Aku tidak kuasa bertanya ada apa, aku hanya berkuasa mengatakan pamit padanya.
Aku yang memilih maju dan kini aku yang memilih mundur.

Terimakasih telah hadir, kuletakkan kenangan itu dalam kotak kenangan hatiku, inilah kenangan paling berharga, kenangan yang akan kujaga segenap hati. Sampai dititik ini kupilih mundur. Bila ada yang menyukaimu, katakanlah tidak bila tidak. Bersemangatlah dan jaga kesehatan, jangan lupa minum air putih.

Dalam setiap kata yang terucap hanya rintik hujan teringat, sebenarnya aku tidak merelakannya.
Dia datang disaat yang terlalu tepat, dia hadir disaat aku membutuhkannya, dia hadir disaat rasa mulai menjalar, dia menggoyahkan hatiku yang sulit tergoyahkan. Dia datang dalam badai dan memilih untuk meredakannya, aku tersungkur dalam lembah kata-kata.

Sampai sekarang aku masih mengingatnya. Dalam doa dan tekad kukenang segala hal dengannya yang membuatku tersenyum lalu kumasukkan dalam kotak berharga kepunyaanku.
Sering kubertanya dalam hati, bisakah aku menemuinya sekali lagi?
Namun kata-kata terakhirku saja tidak mampu membuatnya berkata-kata.

Aku kembali jatuh, rupanya rasa itu hanya milikku seorang.
Aku kembali merasa jatuh ke jurang terdalam, ini terlalu bagus untukku.
Aku menyukai sekaligus merasakan patah hati.
Aku menyukai sekaligus terluka.
Aku menyukai sekaligus mengiba

Dimalam itu aku menangis, kurasakan buliran air mata itu jatuh. Gawat hatiku terkenang olehnya. Tapi kunikmati itu, kucoba bertahan dalam tangis itu.
Ini terlalu kusyukuri.
Aku mencoba bertahan bersama Tuhan,
Bahwa setiap orang memiliki alasan untuk melakukan segala sesuatunya, termasuk dia
Bahwa setiap orang memiliki hak untuk diam, termasuk dia
Bahwa pada akhirnya akan ada penjelasan, meskipun bukan sekarang
Bahwa ketika Tuhan mentakdirkan bersama bahkan alam maut tidak akan memisahkannya
Kuyakini kata-kata itu dalam hatiku.
Kuyakini bahwa penjelasan itu akan datang dengan sendirinya
Kuyakini dia hanya butuh waktu mungkin untuk menjelaskan
Bila pun tidak, dia punya hak untuk diam dan aku berhak mendoakannya yang terbaik
Aku tersenyum,
Aku mencoba bertahan bersama kenangan itu.
Sesulit bagiku untuk menyukai seseorang sesulit itu mengabaikan rasa ini padanya,
Namun aku meyakini bahwa itu semua butuh proses.
Kini aku tidak tau apa yang sedang dilakukannya, tidak mengerti apa yang memberatkan hatinya, tidak paham akan kondisinya.
Tapi yang jelas bagaimana aku selalu berharap kebaikan datang pada orang yang kuat,
Bagaimana semangat terus menjalar padanya, kudoakan yang terbaik.
Hanya dengan ini hatiku mungkin sedikit tenang, tidak bergemuruh seperti sebelumnya.

Meski kukatakan aku akan bergerak menuju kepastian, dalam hati aku selalu menunggu alasannya. Aku selalu menanti penjelasannya. Meskipun itu sama artinya aku menunggu hal yang kosong. Aku hanya ingin mempercayai suatu hari yang aku sendiri tidak mengerti kapan dia akan memberikan penjelasan itu hingga aku bersyukur berfikir positif tentangnya.

Ya beginilah, untuk kamu..
Tetaplah semangat, mungkin kamu tidak akan membaca sekelumit tulisan ini yang membuat sakit mata.
Tetaplah menjadi dirimu dengan segala kepusingan yang membuatku lucu, dengan segala hal hal yang kamu khawatirkan yang membuatku ingin mengenggam tanganmu.
Tetaplah kuat.
Dari aku yang sebentar mengenalmu,
Dari hatiku yang mencoba memahamimu.

2 comments:

  1. Menunggu yang memakan waktu, namun keyakinan menentukan keputusan :)
    Mari teguh dalam ketegaran hati kita

    ReplyDelete