"Apa kamu tahu bagaimana rasanya pacaran dengan seorang homo?"
"Bagaimana rasanya?"
"Rasanya ketika langit menjadi milikmu, bahagia didepan mata. Begitu dalam rasa cintamu. Begitu bangga kamu bisa memilikinya, hingga ada benang kuat yang terjalin dan kamu tidak akan melepaskannya. Kamu sangat yakin itu tidak lepas sampai kamu melihat lelaki yang kamu kagumi memutus jalinan benang itu"
"Apakah sesakit itu?"
"Rasanya melebihi sakit, hatiku tercabik, nalarku berontak. Sungguh sampah"
Aku memandang langit, penuh dengan bintang dan bulan bersinar terang seakan tersenyum pada kisah cinta yang lebih pahit dari coklat asli. Tidak sedap didengar, bahkan dibayangkan pun tidak.
Cinta seperti merenggut kepercayaan, namun rasa tidak menyerah mengalahkannya.
Ini satu lagi cerita.
Ketika itu sudah cukup lama berselang hingga aku memutuskan untuk bangkit dan mulai berkencan lagi.
Kali ini seorang lelaki, aku yakin dia benar lelaki.
Kami menjalin asmara cukup lama, kami menghayati benar asmara yang kami jalani. Aku tidak lupa membangun tembok kewaspadaan, berjaga-jaga agar luka yang ditinggalkan tidak membuat trauma.
Dia tidak jelek namun juga tidak tampan, postur badannya tinggi namun cenderung kurus. Jika mengingat bagaimana kami bertemu itu membuatku tertawa. Hanya karena berebutan koin yang jatuh, bertubrukan kepala dan lalu berkenalan.
Seperti drama, hal dramatis seperti itu pun akhirnya berbuah manis.
Aku memegang tangannya, dia menatap kepadaku, kulihat bintang dimatanya.
Cahaya terang itu jelas-jelas menyilaukanku, membuat kebahagiaanku terasa bersinar.
Sampai hari itu datang.
Ketika kami sedang berlibur bersama kawan lain, 12 jumlahnya.
Awalnya aku tidak ikut serta karena kendala pekerjaan, namun itu semua dapat teratasi dan aku segera menyusul.
Aku mencarinya berniat mengejutkan, namun ketika dia kutemukan. Yang kutahu bukan aku yang mengejutkan tapi dia yang mengejutkanku.
Aku berdiri terpaku lama, tidak berniat pergi sama sekali.
Aku memandang dan mencoba mencerna sedang apa sahabatku dan pacarku.
Klise sekali, sahabat dan pacarmu bermesraan atau minimal itu yang terlihat dihadapanku.
"Apa aku menganggu?"
Mereka langsung menjauh, mereka berdua kaget, berkata semua tidak seperti kelihatannya.
Aku duduk, aku pun terkejut dengan ketenanganku.
"Duduklah, ceritakan padaku"
Dalam hatiku, ada pilu terasa. Ingin memukul tapi kutahan, ingin berlari tapi aku tak bisa. Badanku tidak mau bergerak, pikiranku meminta penjelasan, hatiku meminta pelarian dan aku terjebak dalam logika kacau balau.
Mereka mulai bercerita, sebentar muka laki-lakinya menyesal, sebentar muka gadisnya menangis.
Mereka saling menyukai tanpa tahu status masing-masing diikat oleh seorang gadis.
Aku memandang mereka dengan hampa, mereka terlihat makin bersalah.
"Kita putus"
Aku memandang lelaki itu lalu pergi begitu saja.
"Jangan kejar aku"
Aku menegaskan kepada mereka berdua
Angin pantai mengelus lembut pipiku, pasir pantai terlihat begitu menenangkan dan debur ombak seperti memecah nelangsa hatiku.
Aku berteriak, aku meraung, apa yang salah dariku, apa yang kurang padaku, hingga takdir benang merah pun enggan menyinggahiku.
Debur ombak makin kencang,
Sahabat dan pacar kupikir itu hanya cerita kacangan yang tidak akan pernah kualami. Namun mengingat aku memacari homo maka hal-hal diluar nalar pun harusnya bisa lebih kuterima.
Langit pantai hari ini bagus sekali, bintang bertaburan dilangit dengan bulan yang sangat indah.
Senyum mengembang dilangit yang luas dan mendung menghiasi wajahku.
Andaikata dia masih tetap menjadi pacarku, ingin kukatakan bahwa bintang dilangit tidak lebih indah daripada sinar matanya.
Tembok asmara itu resmi kuhancurkan.
Apakah cinta ini juga harus?
bersambung..
"Bagaimana rasanya?"
"Rasanya ketika langit menjadi milikmu, bahagia didepan mata. Begitu dalam rasa cintamu. Begitu bangga kamu bisa memilikinya, hingga ada benang kuat yang terjalin dan kamu tidak akan melepaskannya. Kamu sangat yakin itu tidak lepas sampai kamu melihat lelaki yang kamu kagumi memutus jalinan benang itu"
"Apakah sesakit itu?"
"Rasanya melebihi sakit, hatiku tercabik, nalarku berontak. Sungguh sampah"
Aku memandang langit, penuh dengan bintang dan bulan bersinar terang seakan tersenyum pada kisah cinta yang lebih pahit dari coklat asli. Tidak sedap didengar, bahkan dibayangkan pun tidak.
Cinta seperti merenggut kepercayaan, namun rasa tidak menyerah mengalahkannya.
Ini satu lagi cerita.
Ketika itu sudah cukup lama berselang hingga aku memutuskan untuk bangkit dan mulai berkencan lagi.
Kali ini seorang lelaki, aku yakin dia benar lelaki.
Kami menjalin asmara cukup lama, kami menghayati benar asmara yang kami jalani. Aku tidak lupa membangun tembok kewaspadaan, berjaga-jaga agar luka yang ditinggalkan tidak membuat trauma.
Dia tidak jelek namun juga tidak tampan, postur badannya tinggi namun cenderung kurus. Jika mengingat bagaimana kami bertemu itu membuatku tertawa. Hanya karena berebutan koin yang jatuh, bertubrukan kepala dan lalu berkenalan.
Seperti drama, hal dramatis seperti itu pun akhirnya berbuah manis.
Aku memegang tangannya, dia menatap kepadaku, kulihat bintang dimatanya.
Cahaya terang itu jelas-jelas menyilaukanku, membuat kebahagiaanku terasa bersinar.
Sampai hari itu datang.
Ketika kami sedang berlibur bersama kawan lain, 12 jumlahnya.
Awalnya aku tidak ikut serta karena kendala pekerjaan, namun itu semua dapat teratasi dan aku segera menyusul.
Aku mencarinya berniat mengejutkan, namun ketika dia kutemukan. Yang kutahu bukan aku yang mengejutkan tapi dia yang mengejutkanku.
Aku berdiri terpaku lama, tidak berniat pergi sama sekali.
Aku memandang dan mencoba mencerna sedang apa sahabatku dan pacarku.
Klise sekali, sahabat dan pacarmu bermesraan atau minimal itu yang terlihat dihadapanku.
"Apa aku menganggu?"
Mereka langsung menjauh, mereka berdua kaget, berkata semua tidak seperti kelihatannya.
Aku duduk, aku pun terkejut dengan ketenanganku.
"Duduklah, ceritakan padaku"
Dalam hatiku, ada pilu terasa. Ingin memukul tapi kutahan, ingin berlari tapi aku tak bisa. Badanku tidak mau bergerak, pikiranku meminta penjelasan, hatiku meminta pelarian dan aku terjebak dalam logika kacau balau.
Mereka mulai bercerita, sebentar muka laki-lakinya menyesal, sebentar muka gadisnya menangis.
Mereka saling menyukai tanpa tahu status masing-masing diikat oleh seorang gadis.
Aku memandang mereka dengan hampa, mereka terlihat makin bersalah.
"Kita putus"
Aku memandang lelaki itu lalu pergi begitu saja.
"Jangan kejar aku"
Aku menegaskan kepada mereka berdua
Angin pantai mengelus lembut pipiku, pasir pantai terlihat begitu menenangkan dan debur ombak seperti memecah nelangsa hatiku.
Aku berteriak, aku meraung, apa yang salah dariku, apa yang kurang padaku, hingga takdir benang merah pun enggan menyinggahiku.
Debur ombak makin kencang,
Sahabat dan pacar kupikir itu hanya cerita kacangan yang tidak akan pernah kualami. Namun mengingat aku memacari homo maka hal-hal diluar nalar pun harusnya bisa lebih kuterima.
Langit pantai hari ini bagus sekali, bintang bertaburan dilangit dengan bulan yang sangat indah.
Senyum mengembang dilangit yang luas dan mendung menghiasi wajahku.
Andaikata dia masih tetap menjadi pacarku, ingin kukatakan bahwa bintang dilangit tidak lebih indah daripada sinar matanya.
Tembok asmara itu resmi kuhancurkan.
Apakah cinta ini juga harus?
bersambung..
I can understand your feelings that you experience because they arise only from very serious events that need to be understood and rethought.
ReplyDelete