Sekolah yang bagus

Hallo, namaku Surya, umur 8 tahun, aku memiliki orang tua paling hebat yang pernah aku miliki. Ibu dan Ayah yang tidak pernah lelah membanting tulang hanya untuk menyekolahkanku. Saking kerasnya mereka berusaha, ayah sampai jatuh sakit dan ibu yang mencari nafkah sendiri.
Aku pun seringnya membantu Ibu, entah mengumpulkan kardus bekas atau gelas bekas untuk dibersihkan lalu dijual, membersihkan makam pada hari-hari besar ataupun pergi berjualan koran. Semua kulakukan agar Ibuku tidak terlalu bersusah payah.

Aku menganggap keluargaku tidak pernah kekurangan, senyum apalagi. Ayah selalu bercanda pada kami meskipun itu tentang penyakitnya. Ibu selalu membawakan cerita-cerita menarik. Ibu bilang hidup kami sudah terlalu berat untuk dipusingkan, ada baiknya pada hari ini kita menertawakan kehidupan yang sudah sangat murah hati memberikan surya pada keluarga. Ya, Ayah dan Ibu berharap bahwa aku bisa seutuhnya menjadi mentari bagi keluarga, yang menghangatkan dan tidak pernah pudar termakan jaman.

"Aku bisa sekolah di sekolah yang bagus bu?" Tanyaku kala mentari menorehkan keindahannya,


"Sekolahmu yang sekarang pun bagus bukan?" Jawab ibuku sembari tersenyum, 

"Tentulah sekolahku sekarang bagus, namun apa aku salah kalau ingin bersekolah ditempat seperti itu?" Aku menunjuk pada sebuah sekolah dengan pagar kokoh tegak berdiri, aku tau ada apa dibalik pagar besar itu, sebuah gedung dengan kelas yang bagus, peralatan yang mumpuni untuk menunjang rasa ingin tahuku.
Aku tau semua itu dan aku mulai menginginkan, Ibu memandangku, aku tau tatapan itu, tatapan iba yang tidak ingin mematahkan semangat anak tunggalnya namun tak ingin juga anaknya berimajinasi terlalu tinggi. 

"Kamu mau sekolah disana?" Ibu tersenyum padaku, rasa khawatirnya sudah digantikan dengan jawaban yang Beliau pikirkan, aku mengangguk semangat.

"Ya", saking semangatnya, jawabanku seperti sebuah teriakan.

"Tentulah bisa, kamu bisa bersekolah disana. Kamu bisa memakai seragamnya. Kamu bisa mencicipi segala makanan yang dijual di kantin sekolah itu. Mungkin kamu hanya tidak bisa diantar pakai mobil, haha.." Ibuku berkelakar, aku tertawa namun masih menunggu kelanjutan perkataan Ibu.

"Jadilah orang yang berilmu, mungkin dengan uang yang banyak kamu bisa membeli apa saja tapi uang tidak akan bertahan lama, mungkin dengan keberuntungan kamu bisa jadi apa saja, tapi itu tidak bisa menjamin masa depanmu namanya juga untung-untungan. Tapi ingat satu hal ini, jadilah orang berilmu dan beramal lah dari ilmu itu. Maka apa yang kamu inginkan akan kamu dapatkan", aku masih tidak mengerti mengenai konsep ilmu dan amal yang dijabarkan padaku. Tapi yang jelas satu hal, aku mengerti bahwa dengan ilmu, sekolah seperti itu pun bisa aku masuki, aku rasakan bangkunya.

"Ah, tapi selain ilmu dan amal, kamu juga harus berprestasi. Ilmu modalnya, prestasi jalurnya, apa yang kamu inginkan hasilnya", Ibu melanjutkan membuatku merekah.

Aku ingin bersekolah di sekolah bagus. Aku sudah membulatkan tekad. Aku sudah bertekad.

~°~°~°

"Benarkah Surya ingin bersekolah di sekolah yang bagus atau sekolah yang mahal?" Sahut Ayah dari dalam kamar, aku yang duduk diluar hanya bisa memasang telinga, penasaran dengan apa yang mereka diskusikan.

"Ya, bagaimana menurutmu?" Ibu menjawab dari dapur.
Rumahku hanya memiliki satu ruangan berisikan kasur, dapur dan kamar mandi terletak diluar, jadi satu dengan warga sekitar. Aku sendiri duduk di beranda depan sembari membersihkan gelas plastik yang berhasil kukumpulkan.

"Bagus itu, orang hidup dengan harapan", jawab ayah dengan senyum, sepertinya Ibu menunjukkan kekhawatirannya, mungkin raut wajahnya mengatakan begini, "tapi dengan harapan juga bisa membuat orang gila".

"Mari kita lihat dan tetap mendoakannya, apa kamu tau ma, Tuhan lebih mendengarkan doa orang papa, syukurlah karena kita papa, haha" Ayah dan ibu tertawa bersama, aku pun hanya bisa tersenyum. Mestakung bukan?

~°~°~°

"Ijinkan saya mengikuti kompetisi Bu", aku berkata pada guru Fisika disekolah, aku tau sekolah negeri tempatku bersekolah ini jarang sekali mengikuti lomba, katanya demi menghemat biaya.

"Tidak bisa Surya, kita tidak punya anggaran untuk itu. Tunggulah OSN", aku menghela nafas, semua guru dan temanku tau betapa aku pintar terhadap Ilmu hitung tapi sayang tidak ada kesempatan sama sekali untukku.

"Kamu yakin menang?" Pak Salim, kepala sekolahku yang sedari tadi mendengarkan percakapanku dengan Bu Elis menanyakan hal itu padaku,

"Yakin pak!", Pak Salim menatapku serius, bagaimana anak kelas 4 SD ini mempunyai keyakinan begitu kuat.

"Baiklah, kenapa tidak kita coba?" Pak Salim mencoba membangkitkan semangat anak didiknya dan aku dengan girangku mengecup tangannya, menunjukkan rasa terima kasih teramat dalam.

~°~°~°

Hidup adalah pengharapan, kala kita berharap kala kita berdoa maka hidup itu menjadi sebuah secercah harapan. Mungkin tidak secara ajaib akan muncul dihadapan kita, kita bilang itu harapan semu. Berhenti berharap berhenti berdoa dan kita mulai mencaci kehidupan itu.

Ayah dan ibuku tidak begitu, meski bagaimanapun juga mereka selalu mengatakan kepadaku untuk tidak pernah menyerah pada harapan. Selalu ada waktu yang tepat, selalu ada ujian didalamnya.

Hari ini aku memasuki babak final lomba fisika.
Hatiku dipenuhi gejolak semangat luar biasa sampai aku ingin muntah.
Di bangku terdepan kulihat kepala sekolah mendampingi.
Di bangku paling belakang kulihat ibu berdiri, mengarahkan jempolnya lalu tersenyum dan pergi, dia tidak bisa berlama-lama karena harus memulung, aku mafhum.
Kulihat juga beberapa teman-teman yang menyediakan waktu untuk sekedar memberikan semangat.

Aku dikelilingi orang yang sungguh baik dan mengerti.
Maka dengan keyakinan dan kemampuan itu aku melangkah pasti.
Juara 2.
Tidak terlalu buruk untuk pemula, ucapan selamat membanjiri diriku. Anak bawang yang muncul secara ajaib dari sekolah tak bernama, begitu mereka katakan. Aku tersenyum kecut, banyak temanku yang mempunyai potensi sama namun tenggelam dengan tidak adil. Tuhan dengan bijak memberikan peluang padaku.

~~~

"Tidak ada yang buruk dari Juara 2", sahut ibuku, mengerti kesedihan yang kurasakan

"Ini Juara 2, aku tidak akan bisa bersekolah di sekolah bagus itu", ucapku lemah dan keras

Ibu memandangku, duduk disebelahku. Inilah yang paling kuingat, ibuku berkata hal yang menjadi acuan semangatku

"Tidak akan ada juara 1 bila tidak ada juara 2. Tidak akan ada kata mustahil bagi mereka yang telah berusaha begitu keras. Ingatlah untuk satu hal ini agar menjadi bekal kehidupanmu. Janganlah menyerah dan berhenti berdoa. Teruslah berusaha meski Tuhan mendorongmu jatuh hingga terjungkal, janganlah berhenti berdoa meski tenggorokanmu hilang suara, dan percayalah pada apa yang kamu yakini"

Aku tersenyum pada Ibu.

Ya, hari menjadi lebih semangat dari orang tua yang positif. Sekolah pun semakin mempercayaiku untuk menyertakanku dalam lomba-lomba. Ingat betul bahwa tidak ada usaha yang mengkhianati. Aku dengan giat menjadi murid berprestasi.

Sampai hari itu tiba, aku dengan keyakinanku mengajukan beasiswa ke sekolah bagus yang kuidamkan sejak lama.
Ayah tidak dalam kondisi yang baik, Ibu sekarang pun begitu. Namun mereka dengan kukuhnya meneguhkan bahwa aku harus mengikuti hal itu.
Bahkan di hari aku tes ketika kulihat Ibu semakin buruk kondisinya, dia memintaku untuk pergi dan mengejar apa yang aku inginkan.

Tidak ingin mengecewakan orang tuaku, aku bertekad akan mengantarkan keberhasilan agar Ibuku sehat.

~~~

Nilai yang begitu baik, prestasi yang begitu menggembirakan dan selalu ada jalan untuk itu semua. Beasiswa itu kudapatkan dan Ibuku meninggalkanku.
Aku menangis.
Kutunjukkan pada ibu aku telah berhasil.
Aku tidak mengerti betapa besar rasa kehilangan itu. Ibu telah berbuat begitu banyak hal padaku, dia tidak meninggalkanku uang sepeser pun namun dia meninggalkan motivasi dan semangat yang luar biasa bagiku.

"Kehilangan adalah hal paling menyedihkan, namun tidak untuk berlarut-larut. Ayah ingin kamu tumbuh besar dengan apa yang kamu percayai melalui keyakinanmu. Ingatlah ini, tetaplah percaya pada apa yang kamu yakini, tidak masalah orang memandangmu apa. Berjuanglah bersama impian itu." Ayah mengatakan itu dan dua tahun kemudian meninggalkanku sendirian.

~~~

Kini aku diangkat oleh Pak Salim, kalian ingat Pak Salim? Kepala sekolah SD ku dulu. Kini dia dengan bangga menjadi ayahku dan aku dengan bangga menjadi anak angkatnya.

Ibu dan Ayah sudah terlalu banyak mengajariku arti hidup dan aku siap membagikannya dengan semua orang.

Selamat tinggal Bu, Yah.. baik-baik disana, akan ada waktunya aku akan menyusul.

No comments:

Post a Comment