Apakah kamu masih milikku?



Malam telah berlalu, udara pagi datang. Dari sela pintu kulihat mentari cahaya telah bersinar.
Perasaanku tak kunjung menghangat seiring datangnya mentari.
Kupeluk guling disebelahku, tetap saja tidak hangat.
Ah, rupanya bukan badanku yang kedinginan namun hatiku yang sudah membeku.
Dinginnya menjalar sampai tulang-tulangku.

Kisah ini terasa begitu lama atau memang aku belum sungguh ikhlas melupakannya?
3 tahun kami bersama.
3 tahun kami saling adu pendapat dan hati
Begitu banyak kenangan terjalin, setiap hari selalu berbeda dan penuh warna, karena ada dia.

Kami sahabat lama,
Lama sekali hingga nada tawa kita sama, hingga apa yang kita pikirkan pun seirama.
Bukan perkara mudah bagiku menerima seseorang dalam hidup ini apalagi menjadi penghuni hati ini, bukan hal mudah bagiku mempercayai seseorang, mempercayakan hati ini untuk orang lain.
Aku menjaga diriku.
Hingga kusadari tatap mata kita yang tak lagi sama, tidak lagi mengisyaratkan pertemanan. Hingga setiap tingkah lakunya menjadi daya tarik tersendiri.
Senyumnya, tawanya dan segala melekat padanya seperti magnet bagiku.
Aku mencoba dia berusaha. Tanpa kami sadari rupanya rasa sendiri menjadi rasa bersama. Aku dan dia, satu lukisan dalam sapuan kuas yang indah.
 "Bagaimana kalau kalian melanjutkan ke jenjang berikutnya, karena kalian sudah cukup lama bersama?"
Sebaris kata hilang segala.
Kakakku meminta kepastian kepada dia.
3 tahun dirasa cukup untuk saling menguatkan, tabungan bersama telah dibuat juga, harapan demi harapan yang terbentuk juga mengenai masa depan.
Aku sendiri telah berharap banyak, aku rasa kami telah cukup berpetualang. Setidaknya begitulah yang kupikir. Namun ternyata tidak begitu.
Tuhan punya kuasa yang lebih besar, dia punya rencana yang lebih hebat.
 "Umur masih terlalu muda, bakti kepada orang tua dirasa belum cukup, maka jenjang berikutnya dirasa terlalu terburu-buru"
Kakakku bertanya ibunya menjawab.
Pupus sudah,
Hilang sudah,
Dan kami pun berakhir.
Bagaimana kami saling tertawa, bagaimana kami bertengkar, bagaimana romantisnya dia dan segala kelakuannya yang membuatku tertawa, tersenyum dan terkenang seketika memenuhi kepalaku.

Entah dunia yang begitu kejam atau keinginanku yang keterlaluan.
Kini setelah setahun pun lupa tak menjadi bagian dirinya. Aku masih mengenangnya sampai dia memberiku kabar.

"Apa kabar, masih sendiri kan berarti aku masih aman",
Menurutnya aku masih belum bisa melupakannya begitu?
Aku tak akan mengakuinya, aku akan mencoba lebih keras setidaknya berjalan-jalan dengan yang lain, lawan jenis.
Tapi sebaris kata kemudian membuatku luluh.
"Aku masih nabung di tabungan kita loh",
Jadi aku harus bagaimana?
Dia yang pergi, meski bukan kemauannya, aku yang disini harus bagaimana?
Menanti dalam penantian yang mungkin akan sia-sia atau bagaimana?
Sejenak terlintas bagaimana aku dan dia akan mengikat janji setia namun apalah khayalan itu, semata-mata tidak menguatkan namun melemahkan.

Bila kamu memang benar ingin membentuk masa depanmu, kenapa kamu tidak membuatku menjadi bagian dari proses menggapai masa depan itu
Malah membuatku menunggu tanpa kejelasan. Datang mengisyaratkan, kamu ingin ditunggu atau bagaimana, hatiku bahkan bingung, tidak jelas arah.
Kepastian bahkan bukan hal paling mudah terucap, selalu ada bumbu lainnya dan aku hanya bisa memandang langit, berkata.
Kamu masih milikku atau bukan?

Nb : Untuk seorang teman yang sampai sekarang masih digantung oleh hati. Percayalah kawan Tuhan akan selalu berikan yang terbaik.

No comments:

Post a Comment