Senja dan Fajar

sumber
  “Ayolah.. seratus ribu bagaimana, aku belinya mahal loh pak”,Aku sedang mencoba merayu penjual untuk membeli sepatuku.
Sepatu yang berada di tanganku telah kusemir sampai mengkilap, aku hanya memakainya sekali sewaktu ujian kelulusanku menjadi sarjana. Sepatu itu berhak tinggi dan mengkilap membuatku sebenarnya sangat tidak nyaman.
Sedangkan si bapak ini adalah penjual sepatu bekas yang selalu bertengger di pasar pagi Jatinegara.
Kalau kalian sering lewat Jatinegara di pagi hari kalian akan lihat para pedagang menjajakan barang bekas, kalau kalian jeli, kalian akan dapatkan barang bagus dengan harga sangat sangat miring. Untuk kali ini aku tidak datang kepada pedagang itu untuk membeli, aku justru ingin menjual. Sayang rasanya melihat sepatu sebagus ini hanya kuberikan kepada tetangga, setidaknya menjadikannya bernilai dengan menjualnya membuatku sangat bahagia.

Nah, aku sekarang dalam posisi menawar harga yang pantas untuk sepatu yang kualitasnya masih bagus banget itu. Tapi pedagang sepatu satu ini emang luar biasa keras kepala sama tawar menawar ini. Masa aku harus bawa pulang lagi, aku mulai menimbang-nimbang tawaran si bapak.
Dia nawar dua puluh lima ribu untuk harga seratus yang aku tawarkan. Kebangetan banget kan..
    “Kubeli lima puluh ribu, bagaimana?” ujar seseorang dari arah belakang, aku mendongak dan menemukan sesosok lelaki jangkung berdiri menghalangi sinar matahari. Aku mengernyitkan dahi. Lelaki membeli sepatu wanita? buat apa.. Aku rasa sebancinya dia kakinya juga enggak bakal muat.

    “Buat mangkal mas?” tanyaku ngedadak, sekejap lupa kalau lagi jualan sepatu.
    “lah..” dia kaget, aku kaget, si bapak pedagang sepatu terbahak.
Semacam parodi pagi hari, si bapak pedagang sepatu begitu terbahak menjadikan kami pusat perhatian sekilas.
    “orang mau dibeli malah dihina” sahut pedagang handphone yang gelar lapak di sebelah bapak pedagang sepatu
    “kalau enggak mau dibeli ya enggak papa mbak” si emas mulai tersinggung, aku mulai merasa tidak enak. Seribu tingkah laku lalu segera minta maaf
    “maaf mas bukan, bukan itu maksud saya. Ini ini lima puluh ribu enggak papa, sujud syukur saya” kosakata jadi amburadul, aku mulai panik jika lelaki dihadapanku ini marah
    “dua puluh lima ribu lah mbak” ujar pedagang sepatu sambil terkikik
    “iya iya enggak papa deh dua puluh lima ribu asal emasnya enggak tersinggung” aku mulai kelabakan, pedagang sepatu dan pedagang handphone nyengir kuda, orang-orang disekitarku seperti berkonspirasi. Mas-mas yang berdiri dibelakangku menegakkan badannya, lalu mulai berfikir.
Ambillah dan maafkan mulut hinaku, pikirku dalam hati. Transaksi alot saja sudah menjadi pembuka hari yang sungguh berkesan untukku kalau ditambah sama sakit hati seseorang lengkap sudah hari yang buruk ini.

    “Baiklah, kumaafkan. Ini uangnya sinikan barangnya”, agak sial memang. Dia seperti menunggu saat-saat dimana aku deal dengan harga berapapun. Aku pun menerima uang dua puluh lima ribu itu sambil cemberut lalu pamit pergi diiringi dengan cekikan pedagang sepatu dan pedagang handphone.

    “ikhlas enggak nih?” ujar mas itu, menjajarkan langkah denganku
    “ya enggak, harganya kan lima puluh ribu” sahutku masih cemberut
    “mau aku tambahin dua puluh lima ribu lagi?” aku menengok ke arahnya, dia ini lagi bercanda atau bagaimana sih?
    “ya mau” aku menyanggupi tanpa tedeng aling-aling, siapa yang enggak mau dapet uang lagi
    “nih…” sahutnya lalu memberikan aku dua puluh lima ribu berhargaku
    “punya uang lima puluh ribu utuh enggak masnya?” tanyaku
    “punya…”
    “aku maunya lima puluh ribu utuh, enggak mecah begini” dia pun mengeluarkan lima puluh ribu nya dan menukarnya dengan dua puluh lima ribu dariku.
    “bedanya apa?”
    “jadi selembar” dan dia tertawa nyaring. Aku mendangak padanya, tingginya emang enggak natural ini orang.
    “lucu aja, ada gitu. Yang penting kan nilai nominalnya bukan jumlah lembarnya” aku mendiamkannya. Emang aneh ya?
Aku berjalan ke arah Transjakarta dengan dia masih terkekeh disampingku.
    “mau kemana?” lelaki ini berniat mengikutiku ceritanya?
    “kamu mau kemana?” tanya dia
    “kemana-mana”
    “ya enggak papa, aku lagi enggak ada kerjaan hari ini. Jadi ya enggak papa kalau kemana-mana”
    “stalker?” sahutku lagi membuat tawanya meledak
    “baru kenal bagaimana bisa jadi stalker?”
    “kita kan belum kenalan?” aku bertanya dan dia tertegun lalu tersenyum
    “Fajar..” sahutnya
    “lihat KTP nya” ucapku, tanpa ragu dia ngeluarin KTP nya.
Aku berpikir sebentar. Pagi ku sudah sangat absurd rupanya.
    “Adimas Fajar?” tanyaku, dia mengangguk
    “Panggil saja Senja” sahutku tak lama dan percakapan ini membawa kita berdua menaiki transjakarta bersama.

Hari ini rencananya aku akan menghabiskan waktu di perpustakaan, mungkin dia tertarik atau tidak jelas itu urusannya.
Sepanjang perjalanan kami saling bersuara, saling menyahut dan melempar canda tawa. Sekejap perkenalan kami seperti kawan lama yang baru bertemu.
Kalian tahu situasi semacam apakah ini, ini artinya kami ternyata nyaman dan nyambung dan yang tidak aku sukai dari situasi ini adalah pertemuan selanjutnya yang tidak bisa ditebak.

    “Kenapa beli sepatu cewek?” tanyaku
    “hmmm, sebenernya gimana ya.. Aku tuh kasian ngeliat kamu nego harga enggak kelar-kelar, saking kasiannya ya aku beli. Toh akhirnya aku cuman rugi dua puluh lima ribu” jawabnya
    “kok bisa cuman dua puluh lima ribu?”
    “iyalah, orang aku jual lagi ke pedagang sepatu dua puluh lima ribu” dan aku tertawa. Asem sekali si fajar ini, rupa-rupanya dia juga enggak mau rugi segitu banyak.
Setelah transit dan berputar lama akhirnya kami sampai ke Perpusnas. Dia mengernyitkan dahi.
    “Perpustakaan?”
    “Ayo..” aku tersenyum padanya, disambut dengan garukan di kepala.
    “Kalau kamu suruh aku beli buku, aku enggak mampu. Jadi aku hanya bisa pinjam, disini koleksi bukunya bisa buat aku melayang ke dunia lain selama beberapa hari. Kalau kamu bosan, kantin ada di lantai 4, kalau kamu cari aku, ada di lantai 10 atau 7”
Aku meninggalkannya berdiri mematung di depan pintu perpusnas yang menjulang dihadapannya.
Sepertinya dia cukup lama menyadari lokasinya dan sedang apa dia disana.

Dalam lembar demi lembar kutemukan barisan barisan kata yang menghantam tepat dijiwaku, buatku melayang sembari tersenyum. Rangkaian kata penyair ataupun pendongeng berhasil membuatku terbang melayang, merasakan bahwa dunia seyogyanya seindah itu.
Hai dunia, apa kabar. Hai Tuhan, apakah Tuhan sehat?
Aku bertanya dan kurasakan sinar hangat menerpa tubuhku. Aku terlarut dalam emosi dan dunia penuh imajinas. Sesekali tersenyum, sesekali mengernyit. Aku sudah ditiduri pendongeng dan tidak pernah siap kembali pada dunia nyata.

“Perpustakaannya udah mau tutup senja”, sekutip kata dan aku melirik tajam. Siapa lelaki hina ini, yang menganggu meditasiku dengan begitu mendadak. Siapa lelaki hina ini berani sekali menghardik segala imajiku dan aku tersadar dia orang aneh yang kutemukan pagi ini. Dia melihatku dengan tidak nyaman aku tersadar bahwa raut mukakulah yang membuatnya nampak tidak nyaman.

    “Maaf, aku terlarut” aku meminta maaf dia mengangguk seadanya
    “sehabis ini mau kemana? kayaknya kamu belom makan deh” ucapnya, ah iya aku belum makan sedari siang.
    “Ayo kita makan, aku tahu makanan yang ingin ku makan”

Dan kita terdampar di halaman masjid istiqlal.
    “mau makan apa mau sholat?” tanyanya curiga
    “makan, disini enak” jawabku kalem
Makanlah kita, aku bakso dia ketoprak.
    “nafas kali kalau makan” dia mengisyaratkan karena aku makan dengan sangat lahap
    “Abang ini enak!” aku teriak ke abang baksonya, pujianku dibalas dengan acungan jempol abang baksonya membuatku terkekeh.
    “Ini cobain” aku menyodorkan bakso padanya dan dia dengan ragu mengambil bakso, mengunyahnya dan berkata…
    “gila kali ya micinnya” aku tertawa terbahak

Makanan telah usai disantap, aku tersenyum padanya lalu menunjuk katedral.
    “Aku akan misa sore, niat ikut?” aku menawarkannya, dia terkejut dan terlihat ragu. Sekali lagi aku meninggalkannya agar dia memahami lokasinya kini dan apakah nyawanya sendiri masih berpijak didalamnya.
    “kamu katolik?”
    “menurutmu?”
Dan kami terlibat misa bersama di senja kala itu.

Kami tak saling mengenal, sebelumnya tak saling bertegur sapa atau tahu wajah satu sama lain. Namun begitu saja kami menjalaninya.
Kami hanya tahu nama,
Kami hanya tahu bahwa kami saling bercanda,
Kami hanya tahu bahwa hal-hal itu membawa kami saat ini.

    “Bagi nomor atau id sosmed dong” dia menyahut, aku tersenyum jahil
    “tidak, ini menyenangkan. Aku akan kembali kesini bulan besok sabtu minggu keempat. Kita akan bertemu di Istiqlal jam 4 sore itu kalau jodoh mempertemukan kita”
Lalu kita saling mengucapkan pisah dan melempar senyum.
Berharap waktu akan merestui pertemuan kita selanjutnya.

Kamu tahu ternyata waktu berjalan sangat lambat, aku yang tidak berharap hanya bisa tersenyum, ingin tahu apakah Tuhan akan kembali bercanda padaku atau tidak.
Sebelumnya hubunganku kandas dan menjadikanku sedih, aku memang tidak menyerah pada cinta namun aku cukup sulit mengakui bahwa bangkit menjadi hal yang mudah.

Masjid Istiqlal, Sabtu minggu keempat.

Aku kembali makan bakso disana dengan khidmat.
    “Ketemu..” aku menengok suara itu dan menyunggingkan senyum termanis. Kali ini dia tidak memakai kaos oblong tapi kemeja lengkap dengan parfum yang bisa kucium wanginya.
Rapihnya anak ini, berbanding terbalik denganku yang baru kembali dari penjelajahan museum di Jakarta dan terlihat kumal.
    “rapiihnya..” sindirku membuatnya melihatku sinis dan aku tertawa.
Entahlah rasanya lebih mudah mengungkapkan tawa dihadapannya daripada berbicara. Kami seperti sudah paham akan pembicaraan yang dimaksud.

Inilah kami, setelah makan lalu ke gereja.
Begitulah selanjutnya sampai pada pertemuan kami keempat.

Aku tidak datang makan, aku sedang mempertimbangkan sesuatu.
Aku bertaruh pada Tuhan.
Aku bertaruh apakah Tuhan akan mempertemukanku kembali dengannya, ditengah umatnya yang banyak itu.
Aku akan tetap ikut misa namun aku tidak bersamanya.
Apakah dia akan menemukanku?
Jika ya, ijinkan aku menyukainya.
Jika tidak, ijinkan aku menjauhinya.

Misa telah usai. Aku berjalan, aku memperhatikan. Tidak kulihat dia.
Aku berjalan menuju Gua Maria. Mendaraskan sejenak Rosario.
Melihat dengan khidmat Bunda Maria dan pertaruhanku, tersenyum lalu menoleh.
Kulihat lelaki itu disana, turut memandang Bunda Maria lalu menoleh padaku.
Sama kagetnya namun tak lama berubah menjadi senyuman.

    “Maaf, ban motorku kempes, di tempat makan kamu udah enggak ada. Datang misa pun telat akhirnya duduk di luar. Saat aku cari ke dalam aku sama sekali enggak menemukanmu. Niatnya duduk dulu disini tarik nafas, minta sama Bunda Maria dipertemukan kembali eh beneran ada kamu disini” Dia menjelaskan dengan senyumannya.
Ah Tuhan bercanda dengan cara lain, curang..
Ngebuat bannya kempes dan apes lalu membiarkannya bertemu denganku.
Aku tersenyum sejenak membuatnya sampai grogi.
    “Haha, enggak papa, ayo makan”

Kemudian kami lebih banyak bertukar cerita dan cita mengenai kehidupan masing-masing.
Aku sama sekali tidak mengenalnya, kebetulan agama kami sama adalah salah satu berkah luar biasa. Mengetahui bahwa usianya jauh lebih tua menjadi sebuah keajaiban.
Bagaimana Tuhan mempertemukan kami masih menjadi sebuah misteri.
Untuk apa dia di sana pagi itu, menawar sepatuku, ini semua rencana yang sungguh diluar kendaliku.
Rasanya seperti Tuhan ingin berkata padaku.
    “Janganlah menyerah terhadap cinta. Ingatlah untuk meminta dan akan kuberikan yang terbaik bagimu menurutKu”

Oke Tuhan, bagaimanapun nanti aku dan dia. Ijinkan aku tidak menyerah pada kekuatan terbesar semesta. Saling Mengasihi.

No comments:

Post a Comment