Genggaman Kecil 1

Aku memandang langit gelap itu kini, sebentar awan tersibak mentari bersinar dan kini aku tak menemukan setitik pun cahaya itu berpendar dibalik awan gelap yang kini datang menghadang.
Apakah Tuhan sedang mencoba menggambarkan kondisi diriku kini?
Terluntang lantung dalam dunia fana ini, bukan hanya dalam kehampaan tapi rasa sedih yang tak berkesudahan.

Tidak, tidak.. Tidak ada kabar tak mengenakan bila kalian memang berfikiran seperti itu, tidak pula keluargaku yang hancur berantakan dan mungkin Aku mencoba mengingatkan kalian, tidak semua keluarga yang berantakan memiliki anak yang sama berantakannya, yang merupakan cermin dari perilaku fondasi keluarga itu, tidak juga pada diriku bahwa Aku adalah anak dari seorang yang sangat kaya sampai tidak diperdulikan atau anak dari seorang yang sangat miskin yang memiliki impian lebih dari kemampuan hingga depresi.

Aku hanya seorang anak, ya.. seorang anak yang sedang menapaki tangga kehidupan.
Kehidupanku mungkin sama seperti dengan kalian, tertawa bersama dengan dua tiga orang teman, mencicipi setiap kuliner yang membuat penasaran, mengisi masa-masa smp dan sma dengan kenakalan remaja biasa. Dan kini ketika Aku mau menapaki kehidupan perkuliahan, disinilah titik itu Aku terhenti sesaat, bertanya hendak dibawa kemana apa yang kumiliki, segala pikiran yang menyertaiku, segala apa yang kurasakan.
Aku terlampau bingung, sama sekali tidak punya tujuan tapi memiliki banyak pilihan jurusan dan universitas mana. Aku memang tidak sangat kaya, namun dengan kondisi keuangan keluargaku Aku mampu masuk universitas manapun.

Ayahku menginginkan Aku kuliah di jurusan manajemen, untuk memanage usaha kecilnya, sedangkan ibuku menginginkan Aku belajar ilmu psikologi, karena untuk saat ini ketika tingkat stress di Jakarta semakin meningkat dan peluang pekerjaan ini semakin besar maka masa depanku pun pastinya lebih terjamin.
Kebanyakan teman-temanku memilih ilmu komunikasi bahkan ada yang memilih teknik, alasannya pun beragam mulai dari pilihan orang tua sampai dengan ikut-ikutan teman, bahkan ada yang rela memilih jurusan agar bisa dekat dengan pacarnya...

Mungkin Aku hanya bisa menemukan 1:100 dari teman-temanku yang benar-benar memilih jurusan yang disukainya, meskipun kebanyakan guru menyayangkan dan berusaha merubah pikirannya.

Dia, Afnan, seorang lelaki berbadan ceking berkacamata tebal yang ilmunya tidak pas-pasan, mahir dibidang kimia dan fisika dan jago sekali dalam bidang matematika, dalam ketiga bidang inilah yang membawa namanya menjadi dikenal seluruh sudut sekolah, nama ini pula yang menghantarkannya kepada beasiswa penuh kuliah nanti, dengan jurusan kombinasi kimia, fisika dan matematika, entahlah Aku lupa apa jurusan itu yang pasti ketika dia memilih untuk memasuki dunia Photografi semua guru langsung mendadak shock dan tidak terima bintang sekolah untuk masuk kejurusan yang sama sekali tidak relevan dari bakat yang dimilikinya.

Para guru meyakini, anak didiknya yang bernama Afnan ini akan sukses dengan bintang yang bersinar bila dia masuk kedalam jurusan yang ditawarkan universitas dengan beasiswa penuh, tentunya bila Afnan memenuhi keinginan ini dan mengabaikan hasrat dirinya maka akan mengangkat nama baik sekolah yang mencetak bintang ilmu yang gemilang, bahkan para guru berasumsi Afnan bisa saja mendapatkan hadiah nobel, berlebihan? menurutku tidak karena mendapatkan berarti berusaha dan mau, dengan bumbu keahlian yang cemerlang, dan Afnan Aku rasa memiliki keahlian, berusaha dan mau bisa ditumbuhkan dari dirinya, terbukti selama dia mengikuti lomba-lomba itu dia berakhir dengan rangkaian bunga dilehernya dan sederet ucapan terima kasih dari guru-guru juga panutan yang baik untuk adik kelas yang akan meneruskan jejaknya.

Penolakan Afnan pada surat dari Universitas yang dilayangkan melalui sekolah dimulai sebulan sebelum UN, dan begitulah orang yang berprestasi mereka diincar sebelum keduluan, dan berusaha sebaik mungkin menjadikan kelulusan nantinya pengabdian mereka terhadap pihak kampus. Ideal, orang pintar menjadi pengajar, orang cerdas menjadi penguasaha. Salah? mungkin.. semua tetap kembali kepada kemana diri mereka akan terbawa arus.

"Kau menolak mereka?" tanyaku pada Afnan, yang duduk dipojokan kantin, dia membaca buku photografi,

"Kalau Aku boleh katakan, ini bukan urusanmu, bahkan Aku tak mengenalmu.." jawabnya, tersinggung ada yang mengganggu waktu tenangnya

"Kau menolak mereka.." ulangku lagi

"Maaf, kenapa kamu begitu ingin tahu?"

"Karena aku tidak tahu harus kemana, dan ketika suatu bakat telah diakui lalu tiba-tiba saja sebuah tawaran datang, rasanya kamu bahkan tidak mempertimbangkannya dan langsung menolaknya"

"Masa depanmu tidak hanya bergantung kepada kemana langkahmu dan langkah temanmu menjejak, kamu harus bisa menjejak pada dirimu sendiri, berpegang pada dirimu sendiri. Kalian bisa bilang kalau bakatku disana atau disini tapi itu hanya sebuah metode pembelajaran untukku. Bukan sesuatu yang membuat adrenalinku tertantang, bukan sesuatu yang dapat menggerakkan hatiku. Dan kalau aku boleh katakan kepadamu, jangan pernah tanyakan orang lain, tutup mulutmu, tutup matamu dan carilah dengan hati yang terbuka lebar apa yang membuatmu sampai ketahap ini, apa yang kamu sukai bukan karena keterpaksaan tapi karena hatimu bergetar saat melakukannya. Oke?"

Hati yang bergetar dan bergerak..

Aku hanya menunduk menatap jemari yang saling kukaitkan dan kemudian memainkannya, selama ini apa yang telah kulakukan? rasanya Aku hanya bergerak mengikuti arus, Aku bahkan lupa kenapa Aku bisa masuk sekolah unggulan ini meski pada kenyataannya Aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Lalu sebenarnya apa yang selama ini telah kulakukan hingga pada akhirnya Aku menemukan kebingungan dan kebutaan dalam langkah selanjutnya?

Bersambung..

1 comment:

  1. aihh jleb._.

    mampir ke postingan ku ya kak kalau ada waktu ^^

    ReplyDelete