Mentari Part 1

Gadis itu terdiam, duduk termenung, dia ada diseberang tempatku duduk sekarang, diam terpana memandang dirinya. Dia manis melebihi madu lebah, Dia cantik melebihi bunga mekar, namun Dia membawa kekelaman luar biasa. Wajahnya muram dan tak ada warna didalamnya, ada apa denganmu?
Disebelahnya duduk pula kakaknya sama kelamnya, Sang Kakak gadis hanya menatapku dengan pandangan nanar dan berkata 'semua baik-baik saja'.
"Kenapa gadis itu? Padahal kini dia dihadapkan kepada Tunangannya, dan begitukah pandangannya pada dirimu, derita yang luar biasa?" disebelahku duduk seorang teman, anak dari ajudan ayahku, teman yang kuanggap saudara sendiri, dan kini temanku itu memberikan komentar yang tak kuelakkan kebenarannya. Aku hanya mengangguk sedikit membenarkan pendapatnya namun tak membiarkan mereka yang duduk diseberang sana melihat kelancanganku berbicara kepada temanku, memecah keheningan yang janggal ini. 
Sampai kapan keheningan ini akan mencair manakala kakiku sudah mati rasa, sudah setengah jam berlalu dan sejujurnya meski Aku tak pernah diacuhkan selama ini, Aku akan terus bersabar.

Yang tak kusangka dan kuduga berikutnya terjadi..
Seseorang datang dan membuka pintu disebelah Gadis itu, adalah Ia, Sang Ayah terbaring lemah di atas lantai beralaskan dipan kasur, dengan selang infus membelit tangannya. Ada apakah ini? adakah yang tak Ku tahu tentang perjodohan ini?
Bahkan temanku memandang tak percaya. Siapapun tolong jelaskan padaku apa yang sedang terjadi, ada apa dengan Sang Ayah, dan mengapa ini terlihat sangat tidak baik.
Semenit berfikir semenit kemudian tubuh tinggallah tubuh, Sang Ayah menghembuskan nafas terakhir dan Gadis itu menangis sejadinya, ia jatuh menindih Sang Ayah menyatakan ketidakadilannya terhadap dirinya karena meninggalkan dirinya sendirian, ini sungguh menyayat hati manakala Kakak Gadis itu turut menangis, meninggalkan jejak-jejak yang membekas dalam hatiku.
Kami bagaikan menonton kedukaan yang luar biasa dari sebuah layar televisi. Ini menyedihkan. Ini menyayat hati dan ini bukanlah kejutan yang Ku-sukai.

"Ayahku telah menghembuskan nafas terakhirnya kini" Kakak Gadis itu akhirnya membuka pembicaraan, ketika adiknya menggiring jenazah ayahnya untuk lebih pantas dan memberitahukan semua orang kabar duka ini.

"dan sedari tadi kita telah mendengar hal terakhir darinya. Mungkin hanya Aku dan Adikku yang mendengarnya, sedangkan kalian yang diseberang sana menantikan kami yang tak kunjung berbicara" lanjut Kakak Gadis itu, ya kami bukan hanya dipisahkan dari garis lurus yang membentang, bukan hanya duduk berseberangan, bukan hanya ruangan yang berbeda tapi juga ada jarak yang sangat renggang dari ruangan kami.

"Ayahku mengatakan betapa Beliau senang meninggalkan kami dengan calon pendamping yang sungguh menyanjung hati dan mempunyai sikap yang mulia pula, Beliau menitipkan cintanya kepada kalian untuk diberikan kepada kami, menitipkan cinta kami yang bersemi untuk diberikan kepada kalian, hingga akhirnya kita sebagai pasangan dapat memberikan yang terbaik satu sama lain." Kata-katanya menyentakkan pikiranku bahwa disebelahku mungkin ada seorang Nona muda dari kalangan ningrat, teman semasa kecilku, yang menjadi kakak yang mempunyai budi pekerti yang sungguh luhur dan tata krama yang menyejukkan hati. Aku hanya dapat tersenyum dan berdoa semoga Kakak Gadis ini pun sama baiknya dengannya hingga bahagialah hidup mereka.

"Saya dan adik saya, yang maafkan atas kelancangannya meninggalkan percakapan ini, meminta diri untuk mengurus jenazah beliau" dan sekejap pergilah Kakak Gadis itu..

Pintu disebelahku pun terbuka dan kulihat Sang Nona. Duduk dengan senyum yang menghias wajahnya.

"Bukankah ini semua kejutan yang menyenangkan, tuanku?" tanyanya membuatku pun menyunggingkan senyum

"ya ini kejutan yang sungguh menyenangkan lagi menggembirakan. Begitu terkejutnya saya." jawabku lalu masing-masing dari kami mengundurkan diri untuk menyambut hari kami yang baru, sebagai pendamping sah keluarga ini, dan memberikan penghormatan terakhir kepada Sang Mertua.

Di masa ini, pernikahan yang ditentukan adalah sebuah kewajiban sang anak untuk dipenuhi, dan harus menjadi berkat bagi dirinya sendiri.
Seringnya dalam hati kami yang kecil ini, pengharapan untuk bahagia dan mulai mencintai adalah tugas yang harus dilaksanakan, meski pada kenyataannya adalah banyaknya dari mereka yang hanya mengharapkan kematian yang menyenangkan dan bertemu dengan jodoh hati di surga sana.

Sebulan sudah usai berkabung dan Aku tak pernah lagi menemui Gadis itu, seperti apakah Dia sekarang, sudahkah Dia membaik? Sudahkah Dirinya bersinar kembali bagaikan mentari..
yang bersinar dengan indahnya memabukkan diriku setiap paginya. Aku sudah tak sabar menemuinya, sudah tak sabar memberikan hatiku ini padanya, dan tengah kusadari Aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya...

---------------------------------------
---------------------------------------
Lelaki itu menatap diriku, menatap diriku dengan pesona yang tak bisa kulukiskan, menatap diriku dengan mata teduhnya. Sesungguhnya diriku pun tak dapat menghindari dirinya, namun apa daya aku pun tak berani terang-terangan menatap wajahnya meski harus kulakukan dengan tekad luar biasa. Aku duduk disini dengan Kakakku disebelahku yang dengan gagahnya menatap mereka yang berada diseberang sana, mengisyaratkan 'bersabarlah, semua akan baik-baik saja' dan meski kenyataannya tidak seperti itu Aku sangat bersyukur bahwa mereka tidak meracau dan menghancurkan ini semua.
Ayahku dari ruangan lain, ruangan yang dibatasi oleh penyekat sedang berbicara, berat mendengarnya manakala Beliau berbicara diselingi dengan helaan nafas yang berat. 'Yah, kumohon berhentilah berbicara, semua akan baik-baik saja. Engkau pasti akan segera sembuh dan kita akan bergembira lagi. Aku menyukai Lelaki yang ada dihadapanku ini, tak usahlah kau khawatirkan kami' ucapku dalam hati sembari menahan tangis, sungguhlah tak pantas bilamana Lelaki dan Temannya yang duduk diseberang sana melihatku menangis ketika mereka tidak mengetahui apapun dan Sang Nona yang duduk disebelah mereka tersekat oleh dinding pun merasakan ketidakberdayaan kami yang mendalam.
Ayahku terus saja menyatakan harapan-harapannya pada kami, tentang impian-impiannya kepada kami, hingga akhirnya Beliau berhenti berbicara dan pikiran yang menakutkan itu muncul. Pintu penyekat dibuka dan Aku tak lagi kuasa menahan tangis ketika wajah Ayahku sendiri mulai ditutup dengan kain, Aku segera memeluk dirinya, dan menyatakan ketidakadilan Tuhan akan dirinya yang kini tak lagi mempunyai daya..

Upacara kedukaan segera dilaksanakan, Orang-orang dari segala kalangan datang menghadirinya. Kini Aku pun telah berganti pakaian, putih putih seperti tradisi keluarga kami, bilamana seorang meninggal layakkanlah dirimu dengan memakai putih untuk menyucikan dirinya dari dirimu yang masih fana dan mengantar kepergiannya bukan dengan derai air mata namun harapan bahwa Ia akan bahagia disurga sana.
Sebulan kami sekeluarga harus menghadap diri sebagai orang yang berduka, tidak diperbolehkan keluar rumah dan harus memakai baju putih-putih sebagai tanda kedukaan yang sangat mendalam, karena dalam hal ini Ayahkulah yang meninggal.
Sebulan pula Aku merindukan sosok Lelaki itu, merindukan bagaimana nantinya Aku akan diperlakukan dan bagaimana Aku akan dicintai, bagaimana Aku akan memberikan hatiku padanya, dan tengah kusadari Aku jatuh hati pada pandangan pertama...

Akhirnya setelah sebulan masa kedukaan itu yang kini menjadi serpih-serpih duka dan kenangan yang kukumpulkan tepat didalam hatiku ini. Aku, Sang Gadis dijemput oleh Dia Lelaki. Hatiku bergemuruh tiada henti, berdetak cepat dan berdebar tak karuan. Merasakan begitu merahnya mukaku dan entahlah tak bisa kuukir lagi apapun yang rasanya hinggap dipikiranku, dihatiku, dijiwaku dan bahasa tubuhku.
Dia hanya menatapku dengan senyum, senyumnya yang terindah, yang paling indah dan sangat indah. Ya, Aku telah siap dengan pakaianku dengan segala yang kubutuhkan untuk tinggal dirumahnya. Telah siap sepenuhnya. Dan Aku siap engkau bawa.
Lelaki itu sedang berbicara dengan Kakakku meski lebih banyak mendengar, kudengar itu karena Aku duduk dibalik sekat ruangan yang mereka gunakan, mencoba untuk tidak menguping dan mendengarkan apapun yang keluar dari sela-sela sekat itu. 
Usai pembicaraan itu disinilah Aku sekarang, duduk bersebelahan dengannya dengan kecanggungan yang luar biasa. Tak satupun dari kami memulai hingga Aku berniat berbicara..

"apa..."  kini kami malah berbarengan berbicara, sungguh lucu sekali..
"kamu dulu.." dan berbarengan sekali lagi, akhirnya kami pun tertawa bersama, hilangkah sudah kecanggungan ini? mungkin hilang sudah namun kini kami hanyut dalam pikiran kami sendiri-sendiri dan tersenyum. Senyum yang sungguh menggetarkan jiwa.

Kamarku berada dibagian lain rumah ini, berjauhan dengan kamar Lelaki itu yang berada di rumah induk, letaknya dibelakang rumah, hanya itu yang Ku-tahu. Tentunya Aku tidak boleh keluar berkeliaran sendirian dirumah ini ketika pelayan pribadiku belum juga mengenalkan dirinya sendiri. Kamar yang kini kutempati tidak jauh berbeda dengan kamar dirumahku sendiri, mungkinkah ini agar Aku merasa nyaman? Aku menatap keluar jendela, ada gunung dan hamparan bukit hijau yang luas, indah dan senyumku pun mengembang dari wajahku..

Pelayan itu pun datang dan mengenalkan dirinya, Ia juga membacakan beberapa peraturan yang harus kuketahui yang telah mendarah daging dalam keluarga ini. Peraturan-peraturannya jauh berbeda dari keluargaku. Membuatku sedikit kepayahan dan harus sekuat tenaga untuk menghilangkan kebiasaan lamaku. 
Begitu disiplinnya rumah ini dengan segala tata krama, dengan segala peraturan yang mengekang, namun itu semua harus kujalani karena inilah jalan yang memang harus kulalui. Demi Kakakku yang juga sedang berjuang, mempertahankan eksistensi perusahaan, mempertahankan hatinya agar tidak kunjung runtuh untuk Sang Nona. Ah~ Kakak apa kabar dirimu diluar sana, sekiranya kapan Engkau akan berkunjung..

"Selamat datang padamu kami ucapkan, namun maafkan kami karena sebentar Ibu dan Ayah akan pergi lagi, bertolak keluar negeri untuk urusan bisnis" Mertua Perempuan yang kini kupanggil Ibu membuka pembicaraan, membuatku menaruh cangkir teh, kini kami sedang acara minum teh.

"Tidak mengapa Ibu, kuharap dalam perjalananmu menyenangkan dan berakhir dengan baik, kudoakan juga keselamatan kalian" ucapku setulus hati, membuatnya tersenyum.

"Ibu harap dirimu akan nyaman berada disini, seperti yang Kamu tahu anakku, disini begitu banyak peraturan bahkan warna baju tiap harinya pun ditentukan dengan baik buruknya hari itu. Namun sekali lagi Ibu harap dirimu senyaman diriku sekarang." Ucapannya begitu nyaman berdendang ditelinga, Ibu halnya seperti diriku, orang luar yang mencintai keluarga ini, dan akhirnya bertekuk lutut oleh peraturan. Ya, ibu kuingat selalu ucapanmu.

Seminggu Aku tinggal disini dan seminggu pula Aku tidak bertemu dengan Lelaki itu, padahal kami tinggal serumah, mungkinkah lebih dekat dengannya adalah sebuah kemustahilan untuk sekarang ini?

"Aku merindukan sekolah, kapan Aku akan kembali ke sekolah?" tanyaku, dan pelayanku hanya menganggukkan kepala lalu berlalu, Dia hendak bertanya kepada kepala pelayan, tak butuh waktu lama sampai kepala pelayan itu datang lengkap dengan seragam yang terlipat rapi ditangannya.

"Nona akan bersekolah, namun tidak di sekolah lama Nona. Tuan Besar telah meminta ijin kepada kakak Nona, bahwa Nona akan dipindahkan ke sekolah Tuan Muda." ucapannya membuatku menatapnya lekat, menuntut penjelasan kenapa Diriku sampai harus pindah sekolah demi dirinya? namun percuma Aku menuntut jawab darinya, bukan Dia lah yang memutuskan Aku bersekolah dimana, tapi Tuannya, maka dengan senyum yang tersungging Aku pun menerima seragam wanita itu dan memperhatikan tiap detailnya, membayangkan dan mencocokkan setiap detail pakaian ini dengan tubuhku dan apa yang akan kukenakan sebagai penambah hiasannya.
Seragam itu manis sekali, berwarna putih cerah dengan sedikit aksen pink dan hitam, dan meski Aku harus menerima kenyataan bahwa bukan hanya di rumah ini asing tapi juga disekolahku nantinya Aku tetap harus bergembira.

---------------------
"Silahkan duduk dibangku yang kosong" Aku hanya tersenyum lalu duduk di bangku kosong satu-satunya dan itu terletak disebelah Lelaki itu, rencanakah? atau memang sepantasnya Aku duduk disini?

"Kamu pindahan dari Sekolah St. Marie, tentunya Aku tidak perlu meragukan kemampuanmu lagi kan Gadis manis?" tanya guru itu padaku ketika Aku sudah duduk dan mengeluarkan buku belajarku. Aku hanya tersenyum manis

"ada baiknya sekolah ini mengujiku dahulu sebelum Aku dengan anggun duduk disini bukan?" tanyaku kembali lalu maju kedepan.

"selesaikan soal ini dan kemudian kami mengakuimu" ah, soal aku tidak menyukai ini semua.

"Tidak terima kasih, Aku akan pindah ke kelas yang memang tersedia bangku kosong untukku, bukan bangku yang dikosongkan." ucapku lalu beranjak keluar, namun sebelumnya aku menyelesaikan soal yang terpampang dipapan tulis, ini bukan soal, ini sebuah ujian terselubung dan aku tidak menyukai apa yang tidak dapat kulihat dengan jernih.

Pada akhirnya Aku hanya menatap Lelaki itu sejenak, kalau boleh kukatakan aku bersedih karenanya. Memandangnya sejenak hanya akan menjadi candu yang tak terbantahkan dan akan menjadi siksaan luar biasa pada malam-malam yang kelam. 

Dikelas yang baru ini, kelas terakhir dan memang banyak bangku kosong disini, Aku bertemu dengan Gadis itu, dia bagaikan bangsawan yang terkekang jiwanya, kelam gelap dan bagai tubuh tak bernyawa. Senyum yang ditunjukkannya palsu dan mengandung banyak kesedihan. Mampukah Aku hidup dibalik warna gadis yang menghantarkan dirinya kepadaku ini?

"Meski dia duduk disebelahmu, belum tentu kamu wajib berteman dengannya. Ketidaksopananlah yang mengharuskan kamu tetap memandang dirinya" ujar Perempuan yang duduk didepanku dan aku menyuguhkan senyumku padanya, pada dia seorang Perempuan yang sungguh baiklah menjadi teman.

Jam istirahat berdentang dan kutemui langit cerah di atas atap sekolah, tempat terlarang namun yang paling kusukai, kita bisa menatap apapun siapapun tanpa takut mereka akan menjauh.

"kenapa kamu melakukan hal itu?" tanya seseorang, dan dia adalah Lelaki itu, berdiri tegak dengan muka kesalnya

"kulakukan karena Aku bukanlah seseorang tanpa ego" jawabku, wajah kesalnya berubah menjadi senyum yang melelehkan hatiku

"tahukah engkau betapa rindunya aku padamu" balas Lelaki itu membuatku memandang wajahnya dan bibir itu pun menyentuh bibirku dengan lembut, dengan penuh cinta dan kurasakan air mata mengalir dari pipiku. Rasaku dan rasanya sama dan mengapa kita terpisah begitu jauh? mengapa begitu banyak peraturan yang membuat kita malah tersiksa?

Adakah jawaban bagi kita berdua untuk semua ini? 
Apakah jawaban itu akan terus menggantung di udara tanpa pasti turun untuk memberikan cahaya?
Aku tak menyukai apa yang terselubung namun Aku juga tak pernah menyukai kata menunggu untuk suatu hal yang seharusnya adalah kepastian, dan segala tata laku bangsawan ini membuatku muak meski Aku dididik dari kalangan bangsawan..


Bersambung....



No comments:

Post a Comment