Hujan Meteor (3)

Percayalah, yang hilang tidak patut kamu tangisi, karena dia bukan punyamu. Namun tetaplah seribu orang mengatakan itu aku akan berkata bahwa kita diciptakan untuk saling mengisi maka untuk apa ketika hilang kita tak saling menangisi?

Sarah gadis itu, patutlah dia berbangga hati karena akhirnya Tuhan terketuk untuk memanggil jiwa yang telah tiada menjadi satu dengan seorang yang nyata.
Lelaki yang lain datang bagaikan bayangan, tidak ada yang mengetahui asal usulnya, dia hanya datang duduk dan memperhatikan. Diam tak bergeming, dalam kepalanya mungkin berkecamuk segala asa, otaknya mungkin berputar 360 derajat. Matanya mengikuti sang gadis, takut kehilangan jejaknya, namun wajahnya menyiratkan hal lain. Dia harus cepat, dia diburu bintang.

Bolehkah kusebut lelaki asing ini sebagai Nara? jika tidak sekali lagi kuulang panggillah dia sesuka kalian namun jangan pernah lupakan dia yang telah kamu berikan nama.
Nara duduk seorang diri dibangku taman rumah sakit, tempat biasanya Michael akan duduk untuk menunggu Sarah pulang, dan sekejap ketika Sarah menjejakkan diri ditaman mencoba mengenang, dia tertegun menatap seorang asing terduduk sembari menatap bayangan lonceng yang semakin semarak dengan latar senja yang menyingsing, membuat Sarah hendak meneteskan air mata, Michael menyukai senja, Michael menyukai pemandangan senja dari bangku taman rumah sakit, Michael yang selalu menunggunya pulang karena tak sabar minta ditemani. Michael dan dia benci kehidupan ini.

Sarah berjalan cepat melewati Nara, membuat Nara tertegun namun juga tersenyum kemudian tanpa sadar dia berteriak.
"Sarah"  satu kata untuk dunia, "Sarah", satu kata lagi untuk dunia,
Sarah membeku, tak berani menengok kebelakang, Michael telah tiada tak dapat dia pungkiri, namun dia ingin mengingkari ketika dia menengok ke belakang dia akan menemukan Michael tersenyum disana memandangnya, memanggilnya.
"SARAH" dan sekali lagi, kali ini teriakan dari Nara, membekukan segala yang ada disekitar Sarah.
Nara berjalan mendekatinya dengan keberanian, memutari Sarah lalu bertatapan dengannya, Sarah menunduk tak berani menatap lawannya.
Air mata tak lagi terbendung, bagaikan terhempas reruntuhan langit dia berlari dengan uraian air mata. Ironi.
Hal yang telah hilang kembali bagaikan tornado, datang tanpa diundang dan rasanya menyesakkan sampai pada tulang rusukmu.

Yang Hilang Arah

Pada akhirnya gue kebingungan, memilih jalan yang mana, mau memutar lewat mana.
Segala kesepakatan diawal hanya menjadi hiasan kesepakatan, pikiran yang menggalau hati yang merindu.
Kemudian berfikir untuk berhenti sejenak karena terlalu lelah dan akan melanjutkan nanti, ketidaksabaran yang menuntun diri ini pada pemikiran itu.
Apa yang menjadi impian harus tertelan sabar sementara diri yang merindu tidak bisa ditahan dengan kesabaran.
Gue merindu untuk menjadi sok, tapi gue merindu untuk menjawab keinginan dalam hati, segala nikmat yang didapat kini takut terkoyak dan menjadikannya remahan roti yang telah habis disantap.

Entah bagaimana pada akhirnya gue tertelan dalam lingkaran kegelapan dan tidak lagi bersemangat untuk menunggu, gue mau apa pun sudah hilang entah terbawa arus kemana. Gue yang dulu belum lagi nampak hidungnya, semuanya terlebur menjadi satu dalam voucher-voucher yang menghimpit tiap harinya, segala keputusan dan segala rutinitas yang membosankan, kesadaran untuk tidak pernah diam dan hanya berkata ya juga mencari alasan menjadikan segala rutinitas ini hanya hampa belaka.
Mungkin gue menjalani dengan setengah hati ketika usai matahari terbenam dan menjalankan dengan penuh semangat dan kesungguhan ketika matahari terbit.

Mengenai Diri Kita (Harga Diri)

Kita seringkali dimonopoli oleh keadaan dan perkataan orang lain untuk merendahkan harga diri, meski kita sadar sepenuhnya dan berusaha menurut kita bahwa kita tidak meletakkan harga diri kita lebih tinggi daripada yang harus kita jangkau.
Ibarat kata menyuruh orang miskin berlagak kaya ataupun orang kaya berlagak miskin.
Sulit.

Kita sudah menetapkan standar pada kebutuhan masing-masing, pada keperluan pribadi yang menyangkut kepada kadar kepuasaan kita terhadap sebuah kehidupan yang kita jalani.
Kita perlu membungkuk, ya.
Kita perlu berlutut, ya.
Kita perlu berdiri, ya.
Kita perlu mendongak, ya.

Hujan Meteor (2)

Sang gadis yang kupanggil dengan Sarah semenjak kejadian itu kembali kepada keadaannya semula, dia kembali bekerja dirumah sakit, kali ini tanpa ijin sama sekali dan tanpa jam kerja diluar rumah sakit. Sarah masih menyimpan pedih yang tidak terhingga, meski pedih itu terasa berat namun dia selalu menipu dirinya dengan mengatakan bahwa kejadian dengan sang lelaki yang kunamai Mikhael adalah sebuah omong kosong, sebuah mimpi buruk yang akan berakhir.

Hujan Meteor (1)

Ketika langit sedang dipenuhi hujan meteor berdoalah, ya.. berdoalah untuk meminta sesuatu. Pintalah apa yang kamu inginkan, berdoalah didalam hati. Maka Tuhan akan mengabulkan segala permintaanmu.

Gadis itu percaya pada hujan meteor, bukan tanpa alasan dia percaya tapi karena seseorang, seseorang yang telah berada didalam hatinya semenjak lama hingga dia lupa semenjak kapan seseorang itu hadir dan mengisi harinya yang kosong dengan tawa dalam sunyi.
Lelaki itu, dialah yang menjadi pengisi hati sang gadis. Ijinkanlah aku memakai nama Mikhael untuk sang lelaki dan Sarah untuk sang gadis, kalian tentulah boleh mengganti nama mereka sesuai dengan keinginan kalian, namun jangan lupakan mereka ketika kalian menyematkan nama pada mereka.

Mikhael bisu semenjak kecil, dia mengenal dunia lewat Sarah, sang perawat. Perawat yang begitu setia menemani dan menjaganya, perawat yang bukan saja keluarga, adik, kakak ataupun saudara tapi juga seorang gadis. Sarah tidaklah cantik juga tidak terlalu jelek, namun bukan karena itu Mikhael menyukai Sarah. Karena kebersamaan mereka, karena rasa yang dimiliki Sarah untuk Mikhael, maka dunia Mikhael yang selalu dibalut kesunyian (bahkan ketika dia tertawa) menjadi lebih bernyawa dihiasi tawa renyah Sarah tiap harinya.