Aku tak apa-apa (1)


Menurut kalian, untuk apa manusia diciptakan kalau bukan untuk diakhiri?
Menurut kalian, untuk apa manusia hidup kalau bukan kematian yang menunggunya diujung kehidupan ini?
Ya, begitu kan? Pada hakikatnya manusia hidup untuk mati sama halnya manusia makan untuk kenyang dan minum untuk menghilangkan dahaga.
Menurutku, kita semua akan mati, karena memang itu adalah hak sekaligus kewajiban sebagai manusia, apalagi dikehidupan yang sangat membosankan ini. Segala ujian hidup, semua manusia yang munafik lagi hina, semua manusia yang merasa mempunyai jawaban atas segala pertanyaan padahal mereka tahu betul mereka menyembah Tuhan.
Menurut kalian, apa gunanya diciptakan Tuhan?
Menurut kalian, apa benar kita tercipta dari Tuhan?
Bukannya aku meragukan Yang Hakiki, tapi aku meragukan definisi Tuhan dari pandangan kalian semua. Kumohon jangan tersinggung karena aku pun meragukan kemampuanku dalam mendefinisikan Yang Hakiki.

Aku bukannya menyesali kehadiranku didunia ini, aku hanya mempertanyakan kegunaan diriku disini, eksistensiku, dan apa sebetulnya aku ini. Banyak orang yang dengan gamblang berkoar-koar bahwa mereka lebih mengenal diri mereka sendiri dibanding dengan siapapun dimuka bumi ini ataupun mengenal seseorang dibanding yang lain, nge-judge lalu menari-nari sambil menginjak kehormatan dari kodrat yang telah dipandang sebelah mata.
Itu manusia.. biar bagaimanapun, meski kita mengelus dada, akhirnya kita mensyukuri bahwa itu bukanlah kita dan kita patut bersyukur. Lalu bagaimana dengan mereka yang bagian juga dari kita?

Manusia, makhluk astral ciptaan Tuhan yang diberikan tubuh dan juga otak, hanya itu saja. Janganlah kamu berharap lebih.

Tuhan menciptakan orang miskin apakah karena pada akhirnya Tuhan muak dengan orang kaya?
Tuhan menciptakan orang pintar apakah karena pada akhirnya Tuhan lelah dengan orang-orang bodoh.
Namun sayang, Tuhan sayang dengan umat terpilih yang memiliki keajaiban-keajaiban, maka dia cepat mengambilnya sebelum umat terpilih itu tercemar oleh polusi kejahatan yang menyelimuti bumi.

Menghargai Kesalahan

Sebenernya ini kejadian udah lama, tapi jadi bahan perenungan sendiri.
Waktu itu ada kesalahan besar yang terjadi dan mengakibatkan beberapa perubahan terjadi, gak besar sih dan bisa dikatakan hanya ketat diawal saja, kebelakangnya kendor.
Nah teman gue ini komentar
"begini nih Indonesia, kejadian dulu baru bertindak"

Menurut gue perkataannya gak salah, dan emang prosedur di Indonesia gak sama baiknya sama para rakyat yang gak pernah belajar sabar dan mencoba sabar, dan ketika sabar malah dihina-hina. Nah gue termasuk rakyat yang gak sabar, dimana setiap kali macet gue gak bakal antri dibelakang tapi ngerangsek maju yang berbuah dikatain brengsek dari arah berlawanan, sorry men, jalanan kalimalang keras. 

Semua orang berjalan dalam kesalahan, kesalahan bagaikan acuan untuk menjadi lebih baik, akhirnya gue pertimbangkan untuk mencoba membandingkan dengan negara maju. 
Dan taraaa.. 
menurut pemahaman gue dimana pada negara maju otak para anak dicuci bersih untuk gak takut pada kesalahan ibarat kata berani kotor itu baik, mereka diajarkan pada pemahaman mendalam terhadap masalah lalu akhirnya mengumumkan kesalahan itu untuk kemudian dipelajari oleh orang lain agar orang lain menemukan jalan lain dan mencobanya, negara-negara ini merubah dari bibit terbawah, mereka menanamkan dari para orang tua-bayi-anak-dewasa, mereka memliki cara unik untuk mempertahankan setelah sebelumnya bertahan dalam kejatuhan. 

Bukan Aku.

Entah mengapa kita hanya memandang dan tak saling menyapa.
Ditengah kesunyian yang khidmat itu, aku yang hanya menatap lantai lalu langit-langit, tidak aku tidak merasa bosan atas apa yang sedang aku lakukan. Aku hanya mencari-cari dimana Tuhan berada, dan aku menemukanmu disana, dengan bingkai kacamatamu memandangku tanpa kedipan, membuatku menoleh kesamping kanan kiriku menyadari tak ada yang lain selain aku seorang diri yang kau tatap, membuatku meragu apakah benar tatapan itu untukku?

Aku menatapmu, kini dengan lebih intens menghilangkan khidmat yang sedari awal ku emban. Kamu kenapa? kenapa menatapku? kenalkah kita? atau perlukah kita berkenalan?