Techno for nature #1

Ajib banget gak sih judulnya?
Rasanya agak seneng aja gitu padahal gue gak ngerti judul yang gue ketik. Hahaha..

Awalnya kepikiran ide ini adalah ketika salah seorang guru cerita sama gue, waktu itu kita lagi menikmati jalanan Jakarta sore hari yang macet dengan obrolan khas si guru.

"Gue itu dulu sering jalan, naik gunung juga sering, nyasar yang membawa keberuntungan juga pernah"

"Lah, gimana ceritanya tuh pak, loe nyasar tapi beruntung?"

Tanya begitu, bener mancing si guru buat cerita lebih dalam dan detail. Katanya dulu dia sering banget nyasar sampe mana tau karena dulu aplikasi peta gak secanggih jaman sekarang lebih-lebih baca map google aja udah keren hape waktu jamannya dia.

Tanda tangan oh Tanda tangan..

Membaca tanda tangan?
Apalagi tuh atau malah udah biasa?
Yang jelas ini gak biasa buat gue, buat tanda tangan artis gue yang sekarang ini kebanyakan dipublish diatas kuitansi ataupun hal-hal bau duit.

Yang jelas ini semua berawal dari kedatangan guru BP ke ruangan gue, duduk manis dibelakang gue sambil bersenandung ria.

"Bu, ibu bisa baca tanda tangan saya?" tanya rekan kerja gue,
"coba tanda tangan disini" jawab guru BP yang berlatar belakang Psikologi ini,

Usai temen gue tanda tangan, lalu dicoba dibaca sama guru BP satu ini. Gak lama dia senyum senyum sendiri dan menuliskan beberapa hal salah satunya adalah sifat temen gue yang ribet tapi mudah beradaptasi dimanapun dia berada. Wah meski ada minusnya tapi plusnya bermanfaat banget.

Ngiri, gue dengan mupeng sambil mata berbinar minta tolong buat dibacakan tanda tangan gue yang gak seberapa ini.

"Kenapa kamu selalu memandang masa lalu?" jleebb dan gue mandang dia sambil ketawa, kayaknya beneran bakat gagal move on nih

Ceritaku tentangnya

Tidak ada hingar bingar padanya, tidak terlihat juga bagaimana yang kebanyakan kulihat.
Dia begitu sederhana, begitu pandangku.
Dia begitu berkomitmen, begitu kulihat.

Aku tidak mengenalnya sebaik orang mengenalnya mungkin,
Kami jarang berbicara apalagi bertatap muka.
Aku hanya mengenalnya, ketika kucoba samar bagaimana aku berkenalan dahulu. Aku terlempar dalam masa lalu.

Beberapa tahun yang lalu, ya kusebut seperti itu. Sebenarnya aku meragukan kami berkenalan saat itu.
Dia dikenalkan padaku oleh seseorang, kukatakan dengan senyum menghias pada wajahku.
"Gue gak aktif digereja, tapi kalo mau gue kenalin sama ketuanya. Nah ini dia..."
Rasanya ketika kubuka memori masa lalu, begitulah caraku mengenalnya dan begitulah caraku bertukar nomor dengannya.
Sesaat kemudian ketika ku mengunjungi rumah Tuhan, kutemukan dia duduk ditempat yang sama, sendiri. Kutanya adakah orang disampingnya, dia menggelengkan kepalanya.

Surat Balasan #2 #Yoana

Balasan untuk Jawaban terbuka untuk tantangan terbuka

Halo Sahabat!
Wah senang campur sedih, karena pada akhirnya ketika diputar-putar angin dan dililit kegelisahan, akhirnya angin mengantarkan surat ini untuk sampai pada pandang matamu.

Sungguh maafkan atas waktu yang kurang memanjakanku hingga kini saatnya untuk membalas segala kata-katamu.

Senang mendengar kamu berusaha untuk terus bangkit sahabat, segalanya memang tidak mudah namun bukan berarti sangat sulit. Kita memiliki kesulitan masing-masing, tapi sampai sekarang kita hidup dan mampu tersenyum adalah bukti bahwa segalanya akan berujung baik-baik saja.
Aku juga senang kamu telah membiarkan tangan berirama dengan ketikan keyboard menyulam kata demi kata, menjadi sedemikian indah meski rapuh.

Kode-kodean

“Mana janji manismu..” 

Lagu Nidji mengalun manis di telingaku, mentari sudah mulai menanjak, terik makin menantang dan aku masih menunggu disini. Menunggu seseorang yang sudah tidak sabar kutemui.

Dia membuatku menunggu selama satu jam, sungguh terlalu kalau kata bang Rhoma, sangat keterlaluan, tapi ku mencoba sabar dan tetap berfikir positif siapa tau dia nabrak dinosaurus hingga harus kerumah sakit dan menungguinya sebentar sampe dinosaurusnya jadi fosil.
Yang pasti aku mencoba sabar.
Lima menit
Dua puluh lima menit
Tiga puluh lima menit
Oke lima menit yang semakin memuakkan, akhirnya aku menyerah. Kunyalakan starter motor lalu pergi melaju menuju jalan kenangan kembali ke rumah membawa kekecewaan yang luar biasa.

Dia dan Kereta Anjlok

"Mas, mau ke manggarai?" tawar gue pada lelaki itu yang duduk termenung dan sedari tadi melirik ke arahku
"bukan, mau ke bekasi" jawabnya dengan senyumnya
"tapi harus ke manggarai dulu kan?" sahut gue kemudian
"iya, deket gak ya?"
"mau jalan atau naik bajaj"
"dilihat dari gps, jalan butuh waktu 50 menit"
"kalo naik bajaj mau share cost?" dia ngangguk dan berangkatlah kami. 

Hari ini memang bukan hari keberuntunganku, padahal sudah berusaha pulang lebih awal tapi malah terhambat di perjalanan pulang.
Lalu lintas kereta yang tadi pagi baik-baik saja tiba-tiba gangguan karena ada kereta anjlok di Manggarai, padahal sebentar lagi jam sibuk kereta tapi malah ada saja yang begini. Aku mencoba sabar dan menanti sebentar, memiliki harapan situasi kembali normal dan kereta yang akan mengantarku pulang membawaku tepat waktu ke rumah. Aku termangu sedih saat mendengar seseorang bercakap-cakap dengan Walka didepan gerbong kereta.

"Ada kereta anjlok di Manggarai, jadi dari Bekasi atau Bogor hanya terhenti di Manggarai lalu kembali lagi. Tidak bisa ke arah Jakarta Kota, saya sendiri tidak tahu kapan benarnya".
Yang benar saja, ketemu mentari saat pulang kerumah bagai mimpi. Untuk mendapatkan kepastian lebih jelas aku pun bertanya lagi pada petugas lalu duduk, lama kududuk hingga lelaki yang sedari tadi disebelahku, berdiri menghampiri petugas yang dengan sabar menjawab pertanyaan penumpang. Tak lama lelaki itu kembali duduk disebelahku, menghela nafas panjang. Aku menatapnya kurasakan aura yang sama. Aura kebingungan.

Terjadilah percakapan dan kami akhirnya memutuskan untuk naik bajaj dengan share cost. Berbicara panjang lebar hanya untuk melepas penat, hanya untuk melepas peluh lelah menunggu.

Lelaki itu, iya lelaki dengan senyum menawan itu namanya sungguh membuatku beruntung. Awalnya dia menyodorkan tangan itu, menawarkan pertemanan, bukan lebih dari apapun hanya sekedar berbasa basi agar tidak basi.

"Namaku setia" dan aku terperanjat, dalam hati kukatakan aku juga setia.
"Ayu" ku menjawab singkat, bukankah setia itu cantik atau cantik itu setia?
Kita banyak berbincang, bercanda dan saling tersenyum.
Dia anak sukabumi yang ke Jakarta hanya untuk pelatihan selama 2 hari, rumahnya jauh di Medan. Kukatakan bahwa aku pernah ke daerah sukabumi dan kami makin larut dalam perbincangan.

Entah apa yang kudoakan, hingga jarak tempuh Manggarai yang biasanya 45 menit menjadi 90 menit.
Kami banyak bertukar kata, bertukar pikiran dan canda hingga lelah tiada tersisa.
Sampai pada akhirnya kulihat kemilau dari jemari manisnya, begitu semarak dirinya dan kemilau itu bagaikan paduan yang pas.
Aku memperhatikan sedikit, banyak mencuri pandang.
Benar, kemilau itu ada di jari manisnya.
Melingkar dengan sempurna, tunduk pada tuannya.
Aku memalingkan wajah lalu menatap langit, ketika kami sampai di tempat tujuan kami masih bertukar kata, sedikit kusembunyikan rasa itu.
Sebelum kereta berjalan kuputuskan berhenti bersamanya. Sebelum ini terlambat, sebelum segalanya makin jauh dan menjauh.

Dia berdiri didepan pintu, aku berdiri ditepian garis kuning.
Kami saling menatap, dia menatapku mengisyaratkan "ada apa"
Aku berjalan mundur perlahan tapi pasti, semua orang masih berusaha masuk, berusaha untuk mengambil tempat.
Aku tersenyum padanya lalu membalik badan kulihat sekilas ia membalas senyum itu.

Aku menunggu kereta selanjutnya, memalingkan wajah lalu menatap sepinya langit ditengah hingar bingar orang.
"Aku bersyukur bahwa aku masih bisa merasakan bagaimana rasa pada kali pertama lihat"