Menunggu Tuhan

Kali ini datang benar-benar tanpa diundang, bahkan udara saja tidak menyiratkan kedatangannya yang biasanya merupakan pertanda. Aku berdiri termenung dipinggir pantai di bulan Juni. Mentari bersinar cerah, angin berhembus pelan bersama bau asin pantai yang sangat khas. Aku memandang langit sembari tersenyum. Pakaian berkibar dimainkan oleh angin dan burung camar bernyanyi senang membuatku bersenandung akan kebahagiaan di hari ini. Syukur tiada lebih nikmat disandingkan dengan pemandangan pada hari ini, aku menatap Tuhan sembari mengatupkan kedua tangan didada, berterima kasih karena datangnya hari-hari yang begitu menyejukkan seperti ini, yang begitu menenangkan dan menentramkan. 
Meski itu semua harus aku nikmati didunia seberang sana.
Aku berlari, berlari semakin kencang dan kencang. Berlari tanpa pernah tau harus berhenti dimana. Bertekad tidak akan berhenti sampai tubuhku tak mampu lagi mengeluarkan buliran keringat, sampai nafasku sudah tidak sanggup lagi, sampai aku yakin benar bahwa semua ini telah berakhir.

Aku berlari lurus, tidak mengerti arah mana yang harus kutempuh, tidak mengerti atas kejadian yang terjadi, dan tidak mengerti atas segala perbuatan yang telah kulakukan. Aku hanya menolong anak-anak itu, Aku hanya menyalurkan segala kasihku kepada mereka, Aku hanya berkata pada mereka, Akulah pelindung mereka.
Aku terjebak dalam ketidaktahuan atas kesempurnaan pengetahuan mereka.
Kejadian ini terjadi setahun yang lalu, ya setahun yang lalu aku datang ke kota ini sebagai pendatang. Tidak mengenal seorang pun dan memang tidak berusaha mengenal seorang pun secara dekat. Aku hanya ingin menjalankan apa yang ingin kulakukan disini, meneliti suku yang tinggal didekat sini. Pekerjaanku sebagai penulis dan tugasku adalah mengorek segala cerita adat yang ada didaerah. Memulas dan memolesnya, menjadikan sebuah cerita yang indah dan menjadikannya lestari lewat mulut para ibu yang bercerita pada sang anak ketika matahari menutup tubuhnya.

Datang setahun yang lalu dan kini aku harus berlari dari sesuatu yang bahkan aku tidak mengerti dari mana aku memulainya.

          “Inggar..” mereka menyebut namaku bagaikan namaku semilir angin yang menyejukkan ditengah gersangnya tanah mereka, Aku yang bersender pada sebuah pohon, mulai membuka mata dan kulihat dia disana, lelaki berbadan tegap yang sempat membuatku terkesiap. Lintang. Aku mengerjap mencoba memastikan itu dia, memanggilku dari kisah putri tidur yang sedang kurajut.

          “Mereka datang..” aku mengerjap sekali lagi dan kulihat sebarisan pasukan anak-anak dengan wajah tercoreng dan baskom yang melindungi kepala mereka. Membuatku tersenyum memandang mereka, mereka adalah anak-anak jalanan yang mengikutiku karena rasa penasaran, lalu lama kelamaan mereka mengelilingiku dan aku pun tak kuasa lepas dari mereka. Mereka menyandera rasa sayangku yang kualirkan tanpa batas kepada mereka. Hancur sudah apa yang kusebut dengan tidak ingin menjalin relasi dan hanya ingin menjalankan tugasku dengan baik lalu kembali pulang, kembali kepada ibuku menungguku dimuka rumah dengan mata kosong.

          “Jadi, untuk apa kalian disini hari ini?” tanyaku sembari mencoba mengumpulkan semua kesadaran yang tercerai berai.

          “Kami datang untuk belajar!” seru mereka kompak, membuatku tak berhenti tersenyum. Melihat semangat, ketangguhan dan kehausan mereka akan ilmu pengetahuan membuatku seakan melihat dunia ini sebegitu indahnya dengan tekad membara itu.

Lintang adalah salah seorang kapiten mereka, begitu pasukan anak-anak ini menyebut Lintang, dialah yang mengumpulkan pasukan anak-anak ini, memberikan mereka perawatan yang bisa diberikan kepada anak-anak ini. Mereka tinggal di sebuah gerbong tidak terpakai yang disulap menjadi rumah layak, tinggal ditengah-tengah barang rongsokan. Tidur berdempetan, bila malam datang menghadang siap menentang dingin yang menusuk, bila siang datang menerjang siap merengkuh panas yang membara. Aku memang tidak mengerti kehidupan macam itu, tapi mereka selalu saja membuatku merasa yakin bila semuanya dilakukan bersama maka hal itu hanyalah kerikil kecil dibawah telapak kaki kecoak.

Dengan Lintang kutemui Rindu dan Kakek tua Musaf, Lintanglah yang mempersatukan anak-anak itu dengan Rindu dan Kakek tua Musaf. Entah apa alasan dibalik semua itu, tapi yang kumengerti mereka semua hidup menjadi satu bagian. Mereka adalah keluarga. Sesuatu yang kurindukan saat ini.

Aku sendiri disini mengajar anak-anak membaca dan menulis, mengajarkan mereka bagaimana caranya membedakan tumbuhan yang bisa dimakan atau menjadikannya racun mematikan. Mengajarkan mereka sembari mengumpulkan riset yang harus segera kuselesaikan, menginginkan hal ini terus terjadi tanpa pernah melepaskan ingatan kasur nyaman dirumah sana. Egoisme yang menjalar, menjadikan kebingungan dari segala penjuru pemikiran.

Sampai hari itu tiba..

Aku tidak mengerti bagaimana caranya aku menjelaskan betapa aku sayangnya pada anak-anak ini, betapa aku membanggakan tekad bulat mereka dalam mempelajari banyak hal. Sampai aku sadar bahwa aku sedang membentuk sebuah pasukan khusus.
aku terdiam dalam banyak hal, berfikir banyak hal dan yang kutemui hanyalah jalan buntu menuju kematian.
Lintang seorang pasukan militan dan seorang fanatisme. Fanatik akan tanah kelahirannya yang direbut oleh pemerintah dan aku terlibat dalam drama kehidupan mereka semua.

Hal ini kuketahui ketika aku hadir dimalam itu, dirumah mereka yang sungguh sederhana namun menenangkan. Aku diundang untuk bersantap malam, sungguh hari itu memang adalah santap malam paling menyenangkan yang kuperoleh selama beberapa bulan makan sajian yang disajikan dari penginapan sambil mendengarkan gossip-gosip dari orang tua disana. Berdendang dan tertawa bersama. Sampai ketika santapan itu selesai, mereka undur diri dari hadapanku dan kudengar beberapa desingan peluru menghiasi ruang bawah tanah mereka. Di malam yang hening kudengar suara desingan. Ya, mungkin hanya terdengar sampai pintu masuk rumah ini, tapi kini aku berada didekat suara itu. Tembakan membabi buta, desingan peluru yang tak terhitung lagi jumlahnya.
Aku menghadapi apa? mereka ini siapa? apa yang harus kulakukan?
          “Tenanglah, kamu akan tetap aman bersama kami”, Kakek tua Musaf memegang pundakku, tidak.. dia tidak memegang pundakku, dia mencengkram pundakku. Aku hanya tersenyum tipis. Rindu duduk didepanku sambil tersenyum lebar. Aku terpaku, ingin berdiri namun cengkraman Kakek tua Musaf tidak urung mengendur.

Rindu mulai membentangkan kertas besar masih dengan senyum yang menghias wajahnya. Aku merinding dibuatnya, Rindu si wajah manis dan lugu. Aku tidak pernah berfikir bahwa senyumnya bisa semenakutkan ini diwajah lugunya.

          “kami hanya sedang berjuang untuk mendapatkan hak kami, untuk mendapatkan sesuatu yang telah direbut orang lain. Kami hanya ingin apa yang memang seharusnya menjadi milik kami” ucapnya lalu menatap wajahku, aku bergidik melihat pandangannya namun tidak mengerti harus berbuat apa.

          “Anak-anak itu tidak pantas melakukan ini” suaraku bergetar hebat, tidak mampu melindungi ketidakmampuan atas ketakutan yang menerjangku dan membiarkan mereka semua tau bahwa ketakutan itu kian menguasai diriku

          “Mereka bukan hanya anak, mereka adalah garis keturunan suku kami. Tidak pernah ada yang salah dalam membela tanah kami, tanah nenek moyang”. Aku hanya menarik nafas, sesaat aku lupa bagaimana caranya aku bernafas. Kejadian ini datang terlalu cepat, mungkin tidak secepat itu manakala riset yang sudah kuselesaikan dan telah kukirimkan ke kantor pusat. Aku yang hendak kembali dalam 2 hari kedepan ke rumahku yang meski tidak nyaman dengan tatapan kosong ibuku tapi untukku itu jauh lebih baik daripada disini.

Rindu dan Kakek tua Musaf, berdua adalah garis keturunan Suku Patria, suku tersuci dan tertinggi di pulau ini, sampai datang modernisasi itu dan suku mereka terpaksa harus menyingkir akibat kepemerintahan yang rakus. Tanah suci yang dinodai oleh pembangunan-pembangunan yang tidak mengerti betul isi hati Tuan Bumi, seenaknya menendang segala organ bumi, mencungkil pohon-pohon yang telah mengakar begitu lama, menebar racun dalam lautan dan suku-suku sebagai penjaga yang diwariskan secara turun temurun. Suku Patria, suku tersuci marah, namun kemarahannya hanyalah masalah kecil bagi kepemerintahan yang rakus. Ketua suku dibunuh, para lelaki dikebiri begitu hinanya, para wanita diperkosa tanpa jeda sampai ajal menjemput. Kemanusiaan tersandera begitu rendahnya, membuat Tuhan mengamuk dan mengambil ketentraman kepemerintahan, menyelamatkan sisa-sisa suku Patria, yang telah menjaga tanah suci sampai mengorbankan nyawa.

Namun hilang sudah rasa suci dalam hati, hilang sudah pemikiran tulus untuk dunia yang indah. Hati yang mendendam adalah modal untuk menjadi seorang pembunuh yang kejam.

Tuhan yang murka tentu menjadi sebuah kesadaran akan hal-hal yang harus diubah. Pemerintah pun berubah, mengubah segalanya agar menjadi lebih baik, meski ada banyak orang memanfaatkan tanah itu untuk keperluan-keperluan yang tidak pada tempatnya.

Kepemerintahan telah berubah begitupula suku Patria, mereka membenci kepemerintahan sampai pada akar-akarnya. Hal inilah yang dimanfaatkan Lintang, untukku dia seorang militan, dia seorang teroris dan dia fanatisme. Memanfaatkan kemarahan orang lain untuk menggulingkan kepemerintahan kini. Dendam pribadinya dimasukkan kedalam hasutan-hasutan untuk menyerang kepemerintahan, memusnahkannya dan menjadikan pulau ini sebagai pulau suku Patria, seperti dahulu kala. Tapi aku mengerti bahwa tujuan sebenarnya dari obsesinya adalah menggulingkan kepemerintahan dan mempermalukan pemerintah pusat, mengibarkan bendera perang pada pemerintah pusat. Dia membuat segalanya terlihat begitu memilukan. Hari ini dia melatih beberapa anak, besok dia akan melatih puluhan anak, lusa dia akan melatih ratusan anak. Dia telah berkeliling menyebarkan benih-benih penghianatan. Dia menunggu sampai jam berdentang dan siap menyalakan sumbu peperangan atas ketidakpuasan pada kepemerintahan yang menurutnya memperdaya. Dia fanatisme keadilan.
Sampai hilang kataku, sampai hilang bahasaku. Sampai habis suaraku. Aku terserak dalam jalan yang tidak pernah ada dalam pilihan kehidupanku.
          “Raya..” panggilku lemah pada Raya, gadis cilik bermata bulat. Dia sedang memegang senapan membuatku pilu melihatnya. Dia mendekat padaku, tersenyum kemudian mengecup pipiku. Dengan kesadaran aku menangis, menumpahkan segala air mata. Aku hanya ingin mengadakan riset bukan tergabung dalam teroris yang berencana menggulingkan kepemerintahan.

          “Aku juga tidak ingin disini bu” aku mendengar bisikan itu malam ini, malam keduaku tersandera disini. Dipaksa berpura-pura telah pulang ke negeri asalnya. Fania, itu suaranya. Kukatakan disini ada 5 bocah perempuan dan 7 bocah lelaki. Salah satu dari perempuan itu adalah Fania yang menaruh pistolnya di kaki mungilnya. 

          “Apa yang kamu katakan?” tanyaku sekali lagi, dia mengulang perkatannya, dan kulihat dia menguatkan diri, menjaga agar air matanya tidak tumpah.

          “namun Lintang berjanji akan mengembalikan kehormatan suku Patria. Suku yang aku sendiri tidak mengerti dimana hormatnya. Aku memegang pistol yang berat ini semenjak bisa berjalan dan aku lupa bagaimana rasanya dipeluk ibu. Rindu sama menakutkannya dengan Lintang, lebih-lebih Kakek tua Musaf. Aku membenci mereka semua, tapi aku tidak bisa kemana-mana karena Hernd adalah kakakku, dia pemimpin pasukan kecil ini” Aku melirik Hernd, seorang bocah yang selalu berapi-api, penuh semangat dan selalu mengatakan akan merebut kembali tanah kelahirannya bagaimanapun juga dan tentunya mengembalikan kehormatan suku Patria, suku terhormat dan tersuci.
Aku seperti tersapu angin. Mereka sudah pandai berkelakar dan menulis indah. Aku pun telah mahir menembak dan membunuh.
Aku membunuh banyak binatang, dipaksa Lintang atau mereka menembak salah seorang bocah untukku. Aku tak kuasa menahan segala amarah. Aku tersandera dan kini aku malah dipertaruhkan. Apa gunanya aku melindungi bocah-bocah itu, bocah yang baru aku kenal 8 bulan belakangan. Tapi saat egois itu muncul aku menepisnya dan memandang Fania, bocah yang selalu mengatakan bahwa mereka semua tidak menyukai ini, mencium bubuk mesiu ataupun mencium darah segar dari orang yang baru mereka bunuh. Mereka merasakan itu ketika baru mulai berjalan, dan aku merasakan ini saat aku mengerti apa yang kulakukan.

Bulan ke-9 hal itu tersiar, pemerintah mulai memburu kaum militan bergaris keras dan menunjukkan tanda-tanda penghianatan bangsa. Aku menengadah ke langit meminta pemerintah segera kesini dan mengeksekusi mereka. Aku hanya ingin riset ke sini tidak lebih.

          “Apa yang kau lakukan?” tanyaku saat melihat Rindu berdandan, wajahnya terlampau mirip denganku. Ada apa ini?

          “Aku menjadi dirimu” jawabnya santai dan aku masih belum mengerti pada saat itu, sampai datang kabar bahwa menteri luar negeri telah terbunuh oleh kaum militan. Beredar foto-foto para militan yang tidak aku kenal namun aku tertegun manakala ketua mereka adalah wajahku tapi bukan aku. Diriku tapi itu bukan aku. Aku dijadikan kambing hitam. Setelah sandera, setelah mereka bergerak secara leluasa, mereka membutuhkan persembahan.

          “Ya Inggar, kami butuh kamu untuk dijadikan ketua kami” begitu Kakek tua musaf berkelakar sambil tertawa. Membuatku membuang muka acuh.

Telah kufikirkan sejuta cara untuk kabur, tapi entah darimana Lintang dapat mengetahui langkah-langkah yang kuambil. Aku mencoba kabur lewat hutan dia mendapatiku berada dibawah pohon, aku mencoba memanjat pagar dia mendapatiku berada dibagasi caravan tua, terakhir dia menembak kakiku dan mengatakan bisa saja itu kepalaku. Dia tau ketakutan masih menguasaiku.

Sampai malam itu tiba di bulan ke-10. Aku mendapati diri kami sedang tersaruk-saruk terlibat baku tembak dengan pihak tentara. Aku terjebak dalam jebakan mereka, aku terjerat dalam jaring yang memang disediakan untukku. Tak ada pihak pendukungku, aku dicari dan dipersembahkan. Bagaikan ranting tak bertuan yang mengganggu, aku terjatuh dari induk pohonku, terinjak dan tinggal menunggu disingkirkan.

Aku berlari dan terus berlari, kupikir inilah kesempatanku disaat mereka sibuk baku tembak aku bisa berlari dari mereka, berlari dari masalah pelik ini.

Ketika aku berlari aku menengok ke belakang, kulihat anak-anak itu saling menembak. Tangan mereka terkena, kaki mereka terkena. Aku tetap berlari dan kudengar lengkingan Fania, ya itu suara Fania. Aku mendengar lengkingan kesedihan. Aku berlari semakin kencang lalu mencari mobil van dan berupaya menyelamatkan mereka. Kebodohanku rasanya sudah mencapai batas kemanusiaan. Aku dipergunakan, aku diperdaya dan aku masih menyempatkan diri menolong mereka. Tapi anak-anak ini, itulah yang terlintas dalam kepalaku.

Mereka semua masuk kedalam van yang kukemudikan, Fania terluka kakinya, itu sebabnya dia berteriak menahan rasa sakit itu. Darah terus bercucuran. Yang lain pun begitu. Tidak ada yang tidak terluka selain diriku dan Lintang yang tersenyum puas sembari memandangku. Kemuakan dalam hatiku rasanya berubah menjadi kemurkaan yang tidak terlukis kata-kata.

          “Aku makin mencintaimu Inggar” ucap Lintang enteng sambil mengusap kepalaku. Aku tengah mengobati pasukan kecil ini. Menahan tangis sambil berupaya menyembuhkan. Aku membenci ini, semakin membenci saja.

Kemurkaanku memuncak manakala ketika dibulan dingin itu, bulan ke-11. Aku mendengar Lintang dan Hernd, kakak Fania memuji Fania dan berjanji akan menikahi Fania kelak. Rasa penasaran aku menguping obrolan mereka dan kutemui kenyataan pahit.

Fania menipuku dengan wajah lugunya. Bisa lidahnya lebih beracun daripada Rindu yang menjelma menjadi diriku. Ini menyedihkan. Aku melindungi sesuatu yang tidak berarti. Aku melindungi sesuatu yang tidak pantas.
Aku menyadari ketika aku bertekad membawa mereka semua pergi. Sambil berteriak “Kembalikan kehormatan suku Patria atau mati” aku pun memilih mati dengan bunuh diri.
          “Halo Inggar, terimakasih selama ini” ucap Lintang. Dia membuka semua jalan, memperbolehkan aku pergi. Tapi aku tidak sebodoh itu. Keluar dari tempat persembunyian sama saja dengan aku memutar otak berlari kesana kemari, dicari kesana kemari. Namun beberapa hari berfikir dan melihat wajah Fania yang rasanya ingin kuinjak, aku akhirnya memilih pergi. Aku tau tidak lama lagi mereka akan keluar dari pulau ini, dan bersatu dengan militan garis keras yang lain. Aku tidak akan membiarkan itu. Mereka mungkin masih saja bahagia dan bisa berlari kesana kemari, karena tidak ada yang tau wajah asli mereka, wajah asli yang telah disamarkan sedemikian rupa. Ini menjijikkan.

Aku menghubungi polisi setelah membuntuti mereka semua, mereka sempat diperiksa polisi dan itu semua sia-sia aku telah kalah dari awal. Aku telah kehilangan kehidupanku.
Pistol sudah teracung sempurna dikepalaku, menunggu untuk ditarik pelatuknya dan aku menunggu Tuhan menjemputku atau menyeretku. 

-END-

4 comments:

  1. Hmmm gue bingung mau komen apa. Senyumin aja deh. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo lu senyum doang, gue malah lebih bingung di.. haha

      Delete
  2. Menunggu tuhan menjemput atau menyeret :' ending yang tragis :'

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, karena hidup adalah hidup maka akhirnya pun salah satu dari garis takdir itu.

      Delete