Abu di Rabu


Ini adalah pertanyaan yang begitu aja terpikirkan ketika gue dengan khidmat berada dalam alunan simfoni menggugah jiwa dan nyanyian yang seberapa merdunya menghantarkan gue dan sang pencipta untuk berkomunikasi, tapi emang dasarnya susah fokus, misa di gereja pun selalu berimajinasi liar, eh bukan liar tanda kutip ya liar yang gue maksud misalkan gue berada di area kampret merah sambil dadah-dadah manja ke fotografer.

Tanggal 10 Februari 2016 kemarin, tepatnya setelah ber-gong xi fat coy-an, umat kristiani yang telah memasuki masa prapaskah menyambut Rabu Abu, ada kuot yang gue demen banget nih di hari Rabu Abu.
"Apa yang berasal dari debu akan kembali menjadi debu"
Meski antara debu dan abu mungkin masih rancu, maka gue dengan idealnya mencari inspirasi lewat mbah gugel dan mencoba menjelaskan disini dengan lebih sederhana. Tapi sesungguhnya bukan itu yang mau gue pertanyakan, dalam benak gue yang mungil dan imut ini ada pertanyaan.
  1. Gimana jadinya kalo Rabu Abu gak jatuh di hari Rabu?
  2. Kenapa banget mesti namanya Rabu Abu, apakah karena ada unsur abu di Rabu?
  3. Bagaimana jarak penghitungan si Rabu Abu ini?

Itu semua bagaikan misteri buat gue, namun untunglah ini tidak seperti kasus Mirna yang berlarut-larut dan sejuta mata memantau perkembangannya. Untunglah ini dapat diselesaikan hanya dengan mengetikkan keyword di mesin pencarian (meski loe tetep harus baca biar paham isinya).

Nah berhubung akhirnya gue menemukan web yang sakti mandraguna dan telah menjabarkan hal tersebut, rasanya gak jadi masalah juga bila gue menjadikannya arsip di blog gue sendiri.

Rupanya gak pernah ada tuh yang namanya Rabu Abu gak jatuh di hari Rabu, ini semua berkat penghitungan leluhur mengenai angka keramat 40 hari, so buat orang kristiani 40 hari adalah masa puasa dan pantang yang semestinya digenapi, mutlak bagi mereka yang berumur 18-60an.
Jadi cara ngitungnya gimana.
Puasa 40 hari ini dihitung dengan tidak menghitung hari minggu, jadi kalo kita kenal 7 hari maka dalam puasa 40 hari kita mengenal 6 hari saja. 6 x 6 = 36 hari, sisa 4 hari. Sehubung hari minggu tidak dihitung maka 4 hari ini berlaku mundur sebelum hari minggu jadi ketemulah hari Rabu.
Gue pikir cerdas juga, dengan tidak memasukkan hari minggu yang notabene adalah hari kebangkitan Tuhan maka tidak diperkenankan masuk dalam puasa ataupun pantang.
Tradisi ini juga gak tiba-tiba nongol dan menjadi kewajiban dalam Gereja Roma, tapi tercatat dari Abad ke-7 (Sakramen Gelasian) dan abad ke-8 (Gregorian), yang jelas berapa pun angka mulainya gue belum lahir dan belum sempet nyicip udara segar tanpa polusi.

Tapi pas banget ya Abu di Rabu, setelah diselidiki ya gak pas juga karena kalo ini di-Inggris-in jadinya Ash Wednesday, kagak ada ash-nya pisan di-wednesday. Bingung kan? Santai gak usah bingung, pegangan aja ama kuntilanak dikamar sebelah.
Rabu di negara kita diambil dari bahasa Arab yang berarti ke-4, ini sesuai dengan aturan Indonesia dimana hari pertama dimulai di hari minggu dan bukan hari Senin, makanya jangan sebel yee sama hari pertama, karena hari pertama kita adalah hari libur.

Lalu kenapa abu dan debu? meskipun cakra khan cuman nyebutin satu dari dua gue bakal jelasin dua-duanya, tentunya dari sumur yang terpercaya, fokus dan tidak mengada-ada.
Abu dipercaya sebagai lambang pertobatan, penyesalan kita atas dosa-dosa yang telah kita perbuat dan keyakinan untuk merubah diri menjadi lebih baik dengan berpantang dan berpuasa yang akan melatih nafsu daging kita terhadap keinginan duniawi, puasa juga dipercaya mengendalikan fokus dan iman kita agar lebih terarah. Melaparkan diri menjadi suatu bentuk dimana kita bertarung melawan diri sendiri, yaah menurut gue puasa adalah suatu bentuk menumbuhkan tameng dalam diri dan luar diri. Ini adalah antibodi bagi jiwa-jiwa yang lemah dan bersikap bijak terhadap keinginan daging. beuuh berat amat bahasa gue, tapi ya selama gak lebih berat dari badan gue mari kita iyakan saja pernyataan yang gue lontarkan.

Abu seperti warnanya tidak hitam tidak putih menjadi sebuah pancang juga untuk merefleksikan diri, dimana hitam (iri hati, cemburu, rasa marah/7 dosa) dan putih (baik, sabar, penyayang/buah-buah roh) dan kita berdiri ditengahnya untuk menyeimbangkan kedua hal ini. Tuhan tidak menuntut kita menjadi seluruhnya putih karena dia juga yang menciptkana hitam. Maka, dengan berpantang dan berpuasa diharapkan dapat melihat lebih jernih garis hitam dan putih untuk hidup berkomitmen dengan Tuhan.
Debu sendiri mengingatkan kita ketika meninggalkan dunia dan hanya menjadi butiran debu kayak cakra khan, ditiup angin langsung bubar. Begitulah Yesus berupaya mengingatkan kita sebagai manusia, bahwa kita menjadi manusia akan menjadi debu yang tertiup angin langsung menghilang, tiada arti, hampa, kosong, tidak berdaya. Biarkan Roh Kudus membimbing diri yang tidak berdaya menjadi kuat karena sejatinya bukan karena Tuhan kita hidup tapi kehidupan kita adalah untuk Tuhan.


Okeh, fix banget apalah-apalah gue jadi bijak begini. Kalo udah berubah bijak tandanya pertanyaan mendasar yang ngebuat gue gak bisa tidur setelah nerima abu dan bukannya selfie kayak trend anak sekarang menjadikan mata gue berkantung hingga bisa dibuat tiduran.
So, untuk anak gahol cetar membahenol gue mau tau apa ada dari kalian yang berpantang untuk gak selfie dan update media sosial. Maksimal kalian pake hape hanya untuk sms dan telfon bila hanya ada keadaan urgent.
Kira-kira ada gak ya?









Sumur :
https://id.wikipedia.org/wiki/Rabu_Abu
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?p=112585
http://www.katolisitas.org/7997/mengapa-disebut-rabu-abu
http://albertrumampuk.blogspot.co.id/2014/03/rabu-abu.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Rabu



No comments:

Post a Comment