Jumat di Stasiun Commuter

Sumber


Pernahkah kamu sekali saja berpikir bahwa seorang yang kini sedang berada di dekatmu, ada disaat kamu membutuhkan, ada tiap-tiap harinya, adalah jodohmu?

Namaku Kinta, panggil saja begitu. Layaknya orang yang baru kenal lalu kamu lupakan begitu saja seperti angin lalu, begitulah aku. Mungkin kita berkenalan hari ini, esok bila bertemu kita hanya bertegur sapa, jeda dua hari tidak bertemu dan kita lupa bahwa kita pernah saling mengenal atau sekadar menyapa dalam hangatnya pagi.

Orang datang dan pergi. Tidak sesuka hati mereka. Semua tergantung apakah kamu memutuskan untuk membiarkannya berlalu begitu saja atau ada andil dalam mempertahankannya.

Lelaki itu, Fajar.
Badannya berisi, kacamata membingkai wajahnya dengan apik.

Kami berkenalan lewat grup WhatsApp komunitas Anker (Angkutan Kereta), lebih tepatnya komunitas itu perantara. Senja merekah dan pesan itu ada di situ begitu saja.

‘Nama gue Fajar, dapet nomor lu dari komunitas Anker, boleh kenalan? (kalau engga berkenan pake gue elu, aku kamu juga boleh)’
Singkat padat dan menjelaskan, foto profilnya juga menerangkan siapa lelaki ini. Tampak depan, di foto setengah badan dengan pipi gembilnya dia tertawa. Keramahan begitu saja terpancar dari fotonya yang disetting hitam putih.

‘Halo nama saya Kinta, silakan ada yang bisa dibantu’ jawabku ala call center dan disambut emoticon tertawa dan guyonan lain.

Satu sapaan dan disambut sapaan lainnya, hal itu terjalin begitu saja hingga sebaris menjadi berbaris-baris obrolan.

Sebagai sesama Anker cukup mudah bagi kami bertemu apalagi kami pulang ke tujuan yang sama, Arah Bekasi. Stasiun langganannya adalah stasiun Pasar Minggu sedang aku stasiun Gondangdia maka Stasiun Manggarai menjadi pilihan kami untuk bersua pertama kalinya.
Hari itu Jumat pertama di bulan September 2019. Sore telah datang seiring kerumunan huru hara yang bersiap pulang. Sampai kini jam sibuk stasiun menjadi pemandangan yang membuatku takjub.
Pernah suatu kali aku sampai jam 11 malam, karena keterlambatan kereta dan membuat semua orang menunggu, beberapa memilih alternatif moda lain dan beberapa bertahan, aku termasuk yang bertahan hingga jatuh tertidur dan dibangunkan seseorang.

Di depan Dunkin Donuts kami berjanji, hari itu aku mengenakan cardigan putih celana jeans dengan sepatu kets biru.

“monitor satu, tes tes. disini putri duyung, mencari Kasuari” sejenak aku menjauhkan handphone dan melihat nama yang tertera di layar. Meyakinkan diri bahwa itu Fajar, ketika ku sadar meledaklah tawaku dan lelaki itu menghampiriku dengan yakin.

“Kasuarinya ketemu”
“sama-sama Putri Duyung” balasku sembari menahan tawa

Beginilah Fajar, memakai kaos dengan tulisan ‘terima kasih telah tersenyum’ berwarna putih dengan jaket 1920 hijaunya, celana jeans dan sepatu converse senada dengan bajunya. Dari atas sampai bawah meski selepas bekerja wajahnya tidak menunjukkan raut lelah, senyumnya khas dan yang jelas dia wangi. Wangi ayam bucket KFC.

“gue bawa ayam, so seenggaknya meski wajah gue enggak enak dipandang ayamnya enak dinikmati” tawaku sekali lagi meledak.
Kami duduk lesehan, menikmati ayam KFC dengan wangi memikat diiringi tawa dan dijeda informasi dari announcer sesekali erangan kereta yang berlalu lalang. Moment berisik yang sebelumnya tidak kusadari bisa senikmat ini.

Obrolan itu baru berhenti ketika dia turun di Stasiun Buaran sedang aku masih jauh menapaki stasiun, aku turun di Stasiun Bekasi Timur.

‘Jumat besok kita ngeskrim yuk, Ragusa Italian Ice Cream’ chat itu muncul dan aku mengiyakan.
Bertemulah kami di Stasiun Juanda dan berjalan kaki sebentar ke arah hotel sriwijaya, menyusuri sungai dan bertemulah kami dengan tempat es krim legend yang masih saja ramai ini.

Kami mengakhiri hari yang padat dengan wisata kuliner terdekat dengan stasiun, disaat senggang kami berjalan agak jauh seperti mengunjungi kuliner pasar lama Tangerang atau bahkan sampai Kulineran di Rangkasbitung.
Waktu yang tersisa seakan tidak cukup, Fajar bahkan kadang mengantar sampai Stasiun Bekasi Timur yang membuatku tidak nyaman sebenarnya. Bagaimana tidak, krl menuju arah sebaliknya mempunyai jeda yang cukup panjang, waktu itu saking panjangnya akhirnya dia naik angkot/ojek online menuju stasiun Bekasi.

Bulan Desember 2019 yang basah ini kami masih berputar pada pertemuan di Stasiun. Menjajaki hal-hal baru yang bisa kami temui di sekitaran stasiun, makan pisang goreng Manggarai yang antriannya menggila padahal kami hanya beli dua. Ya, kami mengantri hanya sebagai alasan untuk mengobrol.
Terkadang mencoba makan bubur Cikini di sebrang Stasiun Cikini kemudian menyesal dengan harganya atau makan gorengan yang ada di sepanjang jalan menuju taman Fatahillah dekat stasiun Kota.

Permasalahan ada pada diri ini. Ketika kami mulai semakin dekat dan aku mulai semakin khawatir. Hubungan ini akan dibawa kemana?
Pertanyaan bukan yang aku ajukan, menunggulah yang kulakukan. Aku tidak bertanya, tidak meminta kepastian, tidak memberikan sinyal melangkah lebih jauh.
Hal yang tidak kusadari adalah lelaki ini menunggu sinyal dariku, apakah aku sudah cukup nyaman untuk melanjutkan hubungan ini atau tidak, apakah aku sudah siap menjenjang atau belum, apakah aku pantas mengajukan pernyataan atau belum saatnya.
Kami saling menunggu hingga akhirnya aku memilih mengalah.
Aku menghilang perlahan.
Menunggu itu membuatku ragu, ragu itu memperlambat tindakanku, tindakan yang meragu adalah sinyal buruk dan dia menangkap sinyal buruk itu dengan baik.
Dia memahami aku mundur teratur dan mulai turut menghilang seiring aku yang mulai jarang membalas chatnya.

Dan hubungan ini seperti kereta itu, dia akan berhenti sebentar lalu menutup pintunya dengan dramatis. Aku meragu pada hal-hal yang belum dipastikan, takut pada kenyataan yang akan dihadapi. Rasa kami sama, itu yang tidak kusadari dan tidak kutanyakan.
Lelaki baik ini pun tidak memaksa kehendak, dia cukup dewasa untuk memahami dan mengerti bahwa aku meragu, aku mundur dan berniat tidak kembali.

Hubungan kedua manusia memang sulit dimengerti ya. Aku memberikan sinyal keraguan ditanggapi dengan pemahaman bahwa aku meragukan hubungan yang lebih lanjut. Kami tidak saling membicarakan apa yang kami mau, apa yang kami butuhkan.
Dalam hal ini aku dan dia sama-sama pengecut, kami tidak saling mengutarakan hingga aku sudah tidak berani lagi menghubunginya.

Kebersamaan yang bagai angin lalu. Bukan aku yang yakin, aku tidak termasuk orang yang dalam andil mempertahankan. Akulah orang-orang itu, yang membiarkan orang lain pergi. 
Dan aku mulai menyalahkan diri sendiri, ketidakmampuan untuk memberi tahu orang apa yang kumau.

No comments:

Post a Comment