Kecintaan Pada Tuhan



Menurut kalian apa yang salah dengan kehidupan ini?
Manusianya?
Egonya?
Keinginannya?
Sudut pandangnya?
Keserakahannya?
Atau hanya salah penempatan, dalam situasi dan kondisi yang tidak semestinya?

Ketika kita berkata salah dan mulai mencari kesalahan tersebut kita malah tersesat. Seperti aku.
Awalnya aku merasakan tersesat. Tersesat pada citra diri, tersesat pada hati yang mencinta.
Aku tidak mengerti kenapa harus ada luka bila bahagia lebih menyenangkan, namun aku tidak berani juga menyalahkan Tuhan.
Aku kan bukan siapa-siapa,
hanya debu di kakiNya, hanya tirai hitam di panggung yang megah.


Keinginanku untuk menjadi seorang biarawati terpatri lama, orang tuaku berkata itu terlalu dini, semua mengatakan aku harus memikirkan ulang.
Tuhan,
Apakah ketika kamu memberikan hidayah ini adalah keisenganmu semata?
Aku merasa aku sedang diuji, bagaimana mentalku, keinginanku.

Lalu hari itu datang.
Aku bingung kenapa Engkau mempertemukan bila harus memisahkan, memang apalagi yang harus kupelajari?

Aku dan kameraku,
Acara di wisma frater.
Kawanmu dan senyumnya yang membuatku meleleh seperti es di teriknya mentari.
Kawanmu yang tadinya kuidam-idamkan memenuhi ruang pikiranku.
Dan kamu,
Kamu hanyalah teman dalam canda dan tawa selama aku berada disana.

Ditempat itu kita saling bersinggung tawa, bertukar canda. Merasakan betapa tali kekeluargaan itu telah mengikatku erat.
3 hari bagiku cukup merasakan bahwa kalian adalah lingkaran keluarga yang tidak akan kudapatkan dimanapun, bahkan dari keluargaku sendiri.
Bahwa kalian adalah salah satu hal paling berharga yang ingin kupertahankan sungguh.

3 hari usai sudah dalam acaramu.
Kita pun video call lewat obrolan-obrolan luar biasa.
Kupikir aku dan kawanmu akan baik juga.
Namun tidak, tanpa kusadari justru adanya kamu.
Iya kamu.
Aku tidak sadar sampai kamu menghilang karena kamu pikir aku sudah bersama yang lain.
Ketika aku mengatakan tidak, bukan.
Kamu datang kembali.
Dan aku tersadar betapa aku merindukan saat-saat bersamamu.
Mengobrol bersamamu sudah menyenangkan bagiku.

Saat itu ketika biasanya kita video call beramai-ramai, kamu memilih menghubungiku sendiri.
Aku bingung dan tanya adalah kata pertamaku.
Kamu menjawab, aku terperangah.
Kamu katakan hatimu telah menoleh padaku, betapa ingin dirimu bersamaku.
Kukatakan bagaimana bisa.
Kamu hanya tersenyum.
Hati adalah perkara dua insan bersama, namun rasa yang ada adalah campur tangan Tuhan.
Lalu ujian macam apa yang coba Tuhan berikan.

"Kalau kamu menerimaku, aku akan mengajukan surat pengunduran diri"
Maka panggilan menjadi Frater untukku adalah sesuatu yang sakral, ya memang bisa saja mereka para calon imam tidak kuat dan memutuskan untuk berkarya melalui dunia, namun tidak begini.

Aku melarangnya dengan keras,
Panggilan bukan hanya sekedar memanggil seperti kamu berteriak pada temanmu lalu sudah,
Panggilan adalah sesuatu yang tidak sekedar mengatakan bahwa aku ingin begini atau begitu
dan kami pun sepakat untuk sebatas suka namun tidak mengikat hubungan.
Lagipula tidak ada jaminan kami akan terus bersama.

Inginku masih mau melayani Tuhan menjadi biarawan maka seharusnya aku tidak menjadi ujian bagi dia yang ingin menjadi Frater. Memenuhi kecintaan kepada sang Khalik.
Aku tidak ingin menjadi alasan jika memang itu bukan jalan hidupnya. 

"Berjalan beriringan tapi tidak berdampingan"

Begitulah.
Aku hatiku dan rasa sakit yang kurasakan,
Aku tahu bagaimana rasanya dibuang,
Aku tahu bagaimana rasanya tidak diinginkan dan dicintai,
Maka ketika hal ini datang begitu saja padaku dalam bentuk luar biasa, ada rasa khidmat dan kedukaan yang kurasakan.
Khidmat syukur bahwa Tuhan telah berbaik hati mengijinkan aku mencicipi rasa berharga itu,
Kedukaan bahwa aku tidak akan memiliki rasa itu.
Namun duka nikmat itu adalah bentuk lain dimana rasa syukur yang kurasakan lebih berkali lipat.

Kami memang tidak terikat secara hubungan, kami hanya membatasi pada obrolan, mulai dari yang penting sampai tidak penting sama sekali.
Menemukan orang yang nyaman adalah kesulitan luar biasa, bila menemukan namun tidak bisa bersanding tidak membuatku berkata bahwa hidup tidak adil.
Bagiku,
Hidup itu memang tidak adil, tapi hidup tidak adil ke semua orang karena itu hidup menjadi adil.
Jadi,
Aku bukanlah satu-satunya orang yang merasakan hal ini, banyak orang diluar sana dengan rasa yang sama dalam proses yang berbeda.
Aku hanyalah salah satunya.
Tergantung bagaimana perpesktifnya saja, apakah kamu akan bersedih luar biasa atau menjadi bagian dalam proses selanjutnya.

Apa aku sudah menjadi sok bijak?
Ya, karena hidup ini menghantarkanku sampai pada titik ini.
Melihatnya bahagia dari jauh, bersanding dengan kebahagiaan dalam bentuk lain, mencintai yang bukan dirimu.
Aku hanya bisa tersenyum,
merasakan penuh syukur bahwa aku pernah mengenalnya.
Pernah menjadi salah satu ujian kehidupannya,
Berproses bersamanya,
Memilih tidak bersama namun mencintai hal yang sama.
Mencintai Tuhan dan melayani sesama.

Karena bahagia bukan hanya bagaimana melihatmu harus bersamaku dan menyalahkan Tuhan atas segala yang diinginkan tidak pada tempatnya,
Bahagia bagiku adalah melihatmu bahagia demi Tuhan.
Bukankah hidup ini terlalu indah untuk dilewatkan dengan bersungut-sungut?


Notes : 
Cerita favorit dari seorang teman favorit! aku selalu berdoa kebaikan mengiringimu, bahagiamu bukan pura-pura melainkan kemurnian dari hati. Semangat!

No comments:

Post a Comment