Setelah Ayah Pergi

Ada rasa sesak didada setiap kali mengenang Ayah.
Ingatanku yang nyata terbayang, tercetak jelas di sanubari manakala dia berjalan memakai tongkat keliling rumah atau keliling komplek rumah, prodiakon yang selalu datang memberikan hosti orang sakit, duduk di kursi roda sampai akhirnya tidak sanggup bangun dari tempat tidur.

Ayahku kena stroke saat aku duduk di kelas 5 SD.
Entah bagaimana menyebutnya, apakah itu pengalaman pahit atau manis, asam atau lainnya.
Saat mengenangnya, kupastikan aku menangis.
Ketika melihat seseorang dengan penyakit yang sama dengannya, kupastikan aku menangis.
Air mataku keluar begitu saja. Entahlah.
Katakanlah aku begitu merinduinya.
Seringkali di saat-saat itu aku menjadi sangat tidak berbakti dan mudah marah.
Aku membentak, tersulut ego sendiri.
Begitu melelahkan dan ini belum juga berakhir.
Aku ingat bagaimana ekspresi ayahku kala aku marah-marah padanya.
Dia tersenyum sedih, wajahnya mendung lalu kemudian terisak menangis.
Ayahku tidak bisa berbicara dengan jelas, sudut bibirnya telah begitu kaku hingga harus rajin dilatih.
Aku ingat kala Ayahku menangis, dia suka memukul-mukul kepalanya memakai tangannya yang sehat, memukul-mukul tangan dan kakinya seperti mengatakan,

“tidak berguna tidak berguna”.
Dulu aku terlalu lelah memikirkannya,
Kini aku sangat sedih mengenangnya.
Aku ingat beberapa kali ayah terjatuh, Ibu yang berteriak dan aku harus memilih melayani pembeli di warung bukan bergegas membantu Ibu dengan Ayah yang terjatuh.
Jujur, aku benar-benar lelah saat itu.
Jujur, aku sangat menyesal kenapa aku selemah itu dulu.

“temani ayahmu jalan-jalan di luar komplek”,
dan aku terlalu malu menemaninya jalan-jalan, kadang ku temani dari jauh memastikan dia tidak terjatuh tapi itu sangat jarang terjadi, lebih sering Ibu yang menemani atau tetangga yang membantu melihat.
Ayahku selalu berhasil pulang dengan selamat.
Kami beruntung mempunyai tetangga seperti mereka.

“kenapa engga pernah duduk bareng di gereja?”
dan aku terlalu malu untuk duduk sebaris dengan ayah meski aku selalu menemaninya datang dan pergi membantu menaiki becak.
Alasannya klasik, ayah selalu duduk didepan sedangkan aku inginnya di belakang.

“remot..”
pernah ayah mengatakan hal itu begitu terbata-bata, tapi dia berusaha mengatakannya dengan baik. Dia tidak suka apa yang kutonton sedangkan aku tanggung sekali menontonnya. Aku dan jahatnya diriku mengatakan begitu lantang
“ambil sendiri aja remotnya”
Setelah diambil aku malah merebutnya kembali. Aku dan kekurangajaranku.

Egoku selalu bermain, kenapa ayah yang lain begini, kenapa ayahku begitu.
Kenapa disaat semua orang rapotnya diambil keluarga, aku harus menunggu diluar kelas menanti semuanya dibagi lalu aku mengambilnya sendiri.
Aku dan egoku.

Apakah hanya itu saja yang terbersit di kenanganku?
Sayangnya aku juga mengenang hal-hal menyenangkan, manakala aku memandikannya, menghiburnya hingga dia tertawa, mengoleskan body lotion ke tangan dan kakinya yang kian mengurus, menyuapinya, meminta dia menonton apapun yang dia suka, meneriaki kakakku ketika dia berteriak ke ayah.

Mengenang momen kebahagiaan itu sama sedihnya ketika mengenang kekurangajaranku pada ayah.
Rasa sayang yang tumbuh terlambat, aku sangat mengamuk di tingkat SD dan SMP, tidak terima kenyataan yang ada.
Aku mulai memaklumi di tingkat SMA
Aku mulai menerima keadaan dan menyayanginya ketika masuk kuliah.

Aku masuk kuliah tahun 2010.
Ayahku tiada di Januari 2011.

Sampai sekarang aku masih bersedih atas kekurangajaranku kala itu pada Ayah, sebegitu bandelnya, tidak pernah bisa memaafkan diri sendiri, menyalahi seharusnya aku lebih baik kemarin itu.

Dan aku masih belum bisa terima apakah apa yang kulakukan pada Ayah cukup di hari-hari terakhirnya. Apakah itu sudah cukup, pasti belum. Aku meyakini itu.

Hari ini ketika ada teman yang bercerita mengenai Ayahnya yang sakit dan aku terhempas begitu saja ke masa itu. Menangis kembali. Mengenang kembali. Lebih banyak mengenang aku yang menyakitinya ketimbang membahagiakannya.

Dengan ketidakberuntunganku, aku telah melupakan masaku sebelum kelas 5 SD.
Ingatan yang terpatri hanya dari kelas 5 SD ketika ayah jatuh sakit, perekonomian keluarga ambruk, Ibu mendadak menjadi kepala keluarga dan warung menjadi jantung keluarga, kakak pertama sedang berkuliah, kakak kedua menjadi orang yang emosian.
Kenangan sebelum ayahku sakit, lagi-lagi aku sangat bersedih karena sama sekali tidak bisa mengenang kenanganku dengan Ayah ataupun keluargaku sebelum kelas 5 SD.
Hal-hal yang teringat dan berani kuceritakan ke orang-orang adalah hasil dari apa yang Ibu atau orang lain ceritakan padaku.

Saat ini?
Dengan rasa penyesalan, nangis sesenggukan, aku masih berusaha menyemangati diriku.
Masih berusaha mengatakan,
”kemarin engga papa, berusahalah lebih sayang ke mama sekarang gantinya”.
Menebus dengan segala cara yang bisa kulakukan sebisanya sekarang.
Masih selalu takut mengatakan bahwa kemarin apa yang kulakukan sudah cukup.
Tuhan,
Apakah yang kemarin aku lakukan sudah cukup?
Ayah,
Apakah yang kemarin aku lakukan sudah cukup?
Maaf kalau belum cukup, maaf.

1 comment:

  1. Ayah sudah bahagia melihatmu bertumbuh jauh lebih baik sekarang ini:) cukupkan dirimu, karena Tuhan pasti memberinya kebahagiaan tak terhingga di surga

    ReplyDelete