Kata orang cinta itu tidak kenal akal,
Kata orang cinta itu hilang logika,
Kata orang proses asmara itu diuji dari bagaimana mempertahankan sebuah hubungan.
Entah kalian setuju atau tidak, aku yang hanya mengikuti angin berdiri setuju.
Meski banyak orang bilang hubunganku adalah sia-sia, banyak yang bilang bahwa keegoisan sepihak menyebabkan pihak lain terluka.
Aku tetap bertahan.
Bertahan pada pilihan yang sudah kupilih.
Awalnya aku tidak menyadari sosok itu, sosok yang rupanya sudah ada disana sedari dulu.
Aku sama sekali tidak mengenalnya.
Pertemuan itu bermula bagaimana aku mengikuti kegiatan kampus dan ada satu bagian dimana kami mendapatkan mentoring.
Di ujung kantin ada dia dan mentor kelompokku.
Aku berfikir untuk menghabiskan waktu dan sekedar duduk bersama tidak ada salahnya.
Aku duduk bersama mentorku dan dia.
Dia yang akhirnya menjabat tanganku untuk pertama kalinya.
Saling bertukar nama, bertukar pandang dan aku tidak merasakan apa-apa.
Dia sempat mengira aku menyukai mentorku hingga pupus rasanya untuk bersamaku.
Aku berfikir dia yang lucu itu hanya sekedar lucu tanpa mengharapkan lebih.
Sampai pada titik ketika kesalku memuncak aku memutuskan untuk meninggalkan obrolan grup kegiatan kampus yang aku dan dia jalani bersama.
Tak lama meninggalkan grup dia menyapa aku tersenyum.
Kuceritakan keluh kesahku dan dia menanggapinya dengan baik, memberiku tawa, mendengarkanku amat baik.
Lambat laun obrolan berubah menjadi lebih seru, tatapan kami mulai berbeda, perhatian kami mulai terfokus.
Aku dan dia.
Segalanya kini mengenai kami berdua.
Bagaimana dia selalu ingin berada didekatku, merasakan hadirnya bersamaku.
Dan kutegaskan ingin mengetahui kejelasan status.
Selang berapa lama dia menyatakan rasa dan mendeklarasikan hak milik atas statusnya denganku.
Aku tersenyum, kita berdua tersenyum.
Kini ada benang merah antara aku dan dia.
Dia yang bawel, lucu, humoris dan membuat duniaku begitu berwarna.
Sampai 60 hari itu telah terlewati, aku berfikir bahwa keadaan akan selalu baik-baik saja, bahwa tidak akan ada hal yang berubah secepat ini.
Tapi yang kutemukan berbeda.
Saat itu aku diminta memegang gawai miliknya. Tak ada rasa curiga sampai sebuah pesan masuk. Penasaran hinggap di pikiranku, sebisa mungkin kutepis sampai dia mencoba meminta gawainya. Kuberikan. Tak lama dia berikan kembali padaku. Aku membaca pesan yang membuatku penasaran.
Sorry lama balesnyaSatu baris membuatku mengernyitkan dahi. Siapa gadis ini, obrolan sebelumnya sudah dihapus. Mereka membicarakan apa?
Kutepiskan namun rasa khawatir menyeruak begitu saja dalam hati yang cemburu.
Tak lama dia pergi menuju kampung halamannya, susah sinyal, katanya.
Namun aplikasi media sosial semuanya aktif tapi dia sama sekali tidak memberiku kabar.
Ada apa?
Kenapa?
Setelah pulang pun bukannya melepas rindu padaku dia memilih untuk menaklukan gunung, membuatku bertengkar hebat dengannya, membuat amarahku membara.
Kami jadi lebih jarang berkomunikasi. Dia mendiamiku, kulakukan hal yang sama.
Pada akhirnya dia menemuiku, membuatku kembali luluh dengan tingkah lakunya.
Aku tersenyum dan kami kembali mencairkan suasana.
Setelahnya aku mengikuti kegiatan lain selama sebulan, aku berfikir kamu akan berubah nyatanya tidak.
Sekembalinya aku malah kutemui banyak gadis asing entah di gawaimu, entah di sosial mediamu.
Aku terdiam.
Hal yang membuatku lebih sakit menemukan aplikasi pencari jodoh.
Kurangkah aku sebagai jodohmu?
Aku menangis dan kulihat wajahmu tampakkan rasa penyesalan mendalam.
Ku teteskan air mata itu dan kamu hanya terdiam sembari mengucap maaf.
Ada apa denganmu?
Kenapa terus kamu sakiti aku, padahal lepas dariku pun kamu tidak mau?
Apa yang salah denganku?
Kenapa?
Dimulai banyaknya gadis asing yang tidak kukenal,
Mantan yang kembali hadir dan kamu ladeni dengan baik,
Maumu yang harus dituruti,
Inginmu yang harus terpenuhi,
dan aku menjadi nomor kesekian bagimu.
Ketika aku sakit pun kamu tak menoleh sama sekali, aku tahu kamu sedang bersama teman-temanmu. Namun aku hanya nomor kesekian bagimu.
Kukatakan bahwa ada orang lain lebih perduli padaku, bahkan hanya sekedar membelikanku makanan.
Kamu terdiam, mengatakan maaf, kamu katakan seharusnya kamu yang melakukannya untukku.
Maaf sekarang dan nanti terulang lagi egoismu, kelakuanmu.
Ketika kukatakan aku sudah lelah kamu merengek kembali, membuat hatiku luluh.
Lalu kamu lakukan itu lagi.
Kamu menyakiti, namun kamu bersikeras memegangku.
Aku lelah namun aku masih bertahan.
Entah inikah disebut cinta?
Aku sudah terlalu lelah mengenal lainnya, perkenalan kembali.
Aku sudah lelah bila disuruh memilih dan belajar percaya lagi.
Apa aku salah jika masih bersamanya?
Aku salah seorang yang beruntung memang, sahabatku semuanya baik dan positif.
Namun tetap bersama dia yang seperti itu, apa aku salah?
Percayaku sudah hilang meski rasaku masih setinggi gunung.
Sabarku masih tumpah ruah, sayangku masih cukup dibagikan.
Apa aku salah?
Nb : Untuk "si adik kelas" yang bersemangat menjalani hubungannya! cinta memang tak berlogika yaa, haha..
No comments:
Post a Comment